Jumat, 31 Mei 2013

Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan (ontologi, epistemologi, aksiologi)

Ontologi Pendidikan Kewarganegaraan
PKn merupakan bidang studi yang bersifat multifaset dengan konteks lintas keilmuan. Namun secara filsafat keilmuan, ia memiliki Ontologi pokok ilmu politik khususnya konsep “political democracy” untuk aspek “duties and right citizens” (Chreshore:1886). Dari ontologi pokok inilah berkembang konsep “Civics”, yang secara harfiah diambil dari bahasa latin yaitu “civicus” yang artinya warga negara pada masa yunani kuno, yang kemudian diakui secara akademis sebagai embrionya “civic education”, yang selanjutnya di indonesia diadaptasi menjadi “pendidikan kewarganegaraan” (PKn). Saat ini tradisi itu sudah berkembang pesat menjadi suatu “Body of knowledge” yang dikenal memiliki paradigma sistemik, yang didalamnya terdapat tiga domain “Citizenship education”, yakni  domain akademis, domain kurikuler, dan domain sosial kultural[1].
Ketiga domain tersebut satua sama lain saling memiliki keterkaitan stuktural dan fungsional yang diikat oleh konsepsi “civic virtue and cultere” yang mencakup civic knowledge, civic disposition, civic skills, civic confidence, civic comitment dan civic competence. Oleh karena itu ontologi PKn saat ini sudah lebih luas dari pada embrionya sehingga kajian keilmuan PKn, program kurikuler PKn, dan aktivitas social-kultural PKn saat ini benar-benar multifaset atau multi dimensional. Sifat multidimensional inilah yang membuat bidang studi PKn dapat disikapi sebagai : pendidikan kewarganegaraan, pendidikan politik, pendidikan nilai dan moral, pendidikan kebangsaan pendidikan kemasyarakatan, pendidikan hukum dan hak azasi manusia, dan pendidikan demokrasi[2].
Menurut pendapat di atas, pendidikan kewaganegaraan merupakan bidang studi yang mencakup lintas bidang keilmuan karena dalam pendidikan kewarganegaraan terdapat pula pokok ilmu politik kemudian berkembang konsep civics yang berarti warga negara kemudian berkembang menjadi civics education yang selanjutnya diadaptasi menjadi pendidikan kewarganegaraan.  Namun PKn di Indonesia selain mendasarkan pada Ontologi pokok yaitu Ilmu Politik juga brangkat dari Pancasila dan Konsepsi kewarganegaraan lainnya, oleh karena itu di indonesia PKn sering juga disebut dengan PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan). Perkembangan PKn di Indonesia juga tidak boleh keluar dari landasan ideologis Pancasila, landasan konstitusional UUD 1945, dan landasan operasional Undang-Undang Sisdiknas yang berlaku saat ini, yakni UU Nomor 20 tahun 2003.
Pendapat lain mengatakan PKn Secara ontologikal memilki dua dimensi, yakni obyek telaah dan obyek pengembangan (Winataputra, 2001). Obyek telaah adalah keseluruhan aspek idiil, instrumental, dan praktis PKn yang secara internal dan eksternal mendukung sistem kurikulum dan pembelajaran PKn di sekolah dan di luar sekolah, serta format gerakan sosial-kultural kewarganegaraan masyarakat. Sedangkan obyek pengembangan atau sasaran pembentukan adalah keseluruhan ranah sosio-psikologis peserta didik yang oleh Bloom dkk, dikategorikan ke dalam ranah kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik, yang menyangkut status, hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang perlu dimuliakan dan dikembangkan secara programtik guna mencapai kualitas warga negara yang “cerdas, dan baik” dalam arti religius, demokratis dan berkeadaban dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara[3].
Yang dimaksud dengan aspek idiil dalam objek telaah PKn adalah landasan dan kerangka filosofis yang menjadi titik tolak dan sekaligus sebagai muaranya pendidikan kewarganegaraan diIndonesia. Yang termasuk dalam aspek idiil PKn adalah landasan dan tujuan pendidikan nasional, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945, UU No. 20 Thn 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Aspek instrumental dalam objek telaah PKn adalah sarana programatik pendidikan yang sengaja dibangun dan dikembangkan untuk menjabarkan substansi aspek-aspek idiil. Yang termasuk ke dalam aspek ini adalah; kurikulum, bahan belajar, guru, media dan sumber belajar, alat penilaian belajar, ruang belajar dan lingkungan. Sedangkan yang dimaksud dengan aspek praktis dalam objek telaah PKn adalah perwujudan nyata dari sarana programatik kependidikan yang kasat mata, yang pada hakekatnya merupakan penerapan konsep, prinsip, prosedur, nilai, dalam pendidikan kewarganegaraan sebagai dimensi “poietike” yang berinteraksi dengan keyakinan, semangat, dan kemampuan para praktisi, serta konteks pendidikan kewarganegaraan, yang diikat oleh substansi idiil sebagai dimensi “pronesis” yakni truth and justice. Termasuk juga dalam aspek praktis ini adalah interaksi belajar di kelas dan atau di luar kelas, dan pergaulan sosial-budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang memberi dampak edukatif kewarganegaraan[4].
Pengembangan ketiga aspek tersebut dalam pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan menghasilkan peserta didik yang memiliki budi pekerti dan selalu berpikir kritis dalam menanggapi isu kewarganegaraan serta selalu berpartisipasi aktif dan bertanggung jawab serta bertindak secara cerdas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga akan menciptakan karakter masyarakat Indonesia yang baik dan aktif dalam kehidupan antar bangsa dan negara
Epistemologi Pendidikan Kewarganegaraan             
Aspek epistemologi pendidikan kewarganegaraan berkaitan erat dengan aspek ontologi pendidikan kewarganegaraan, karena memang proses epistemologis, yang pada dasarnya berwujud dalam berbagai bentuk kegiatan sistematis dalam upaya membangun pengetahuan bidang kajian ilmiah pendidikan kewarganegaraan sudah seharusnya terkait pada obyek telaah dan obyek pengembangannya. Kegiatan epistemologis pendidikan kewarganegaraan mencakup metodologi penelitian dan metodologi pengembangan. Metodologi penelitian digunakan untuk mendapatkan pengetahuan baru melalui[5]:
1.      metode penelitian kuantitatif yang menonjolkan proses pengukuran dan generalisasi untuk mendukung proses konseptualisasi.
2.      metode penelitian kualitatif yang menonjolkan pemahaman holistik terhadap fenomena alamiah untuk membangun suatu teori.
Sedangkan, metodologi pengembangan digunakan untuk mendapatkan paradigma pedagogis dan rekayasa kurikuler yang relevan guna mengembangkan aspek-aspek sosial-psikologis peserta didik, dengan cara mengorganisasikan berbagai unsur instrumental dan kontekstual pendidikan[6].
Secara historis-epistemologis Amerika Serikat (USA) dapat dicatat sebagai negara perintis kegiatan akademis dan kurikuler dalam pengembangan konsep dan paradigma “civics”. Pelajaran civics mulai di perkenalkan pada tahun 1970 dalam rangka meng-amerika-kan bangsa Amerika (nation building), sebab bangsa amerika terdiri dari berbagai macam suku, bangsa, ras, maupun etnik. Usaha ini dinamakan dengan “theory of americanzation”. Kemudian pada tahun 1880-an mulai diperkenalkan pelajaran civics disekolah yang berisikan materi tentang pemerintahan. Seorang ahli bernama Chresore (1886), pada waktu itu mengartikan “civics” sebagai “the science of citizenship” atau ilmu kewarganegaraan, yang isinya mempelajari hubungan antar individu dan antar individu dengan negara. Selanjutnya pada tahun 1900-an berkembang mata pelajaran civics yang diisi dengan materi mengenai stuktur pemerintahan negara bagian dan federasi[7].
       Winataputra mengatakan bahwa selain istilah “civics”, pada tahun 1900-an mulai diperkenalkan istilah “citizenship education” dan ”civic education”. Istilah-istilah “civics” dan “civic education”, lebih cenderung digunakan dalam makna yang serupa untuk mata pelajaran di sekolah yang merupakan suatu lembaga pendidikan formal yang memiliki tujuan utama untuk mengembangkan siswa sebagai warga negara yang cerdas dan baik. Sedangkan  istilah “Citizenship education” lebih cenderung digunakan dalam visi yang lebih luas secara informal dan nonformal mulai dari lingkungan keluarga, organisasi sosial kemasyarakatan sampai pada lingkungan tempat bekerja, dimana untuk  menunjukkan “instruktusional effects” dan “nurturant effects” dari keseluruhan proses pendidikan terhadap pembentukan karakter individu sebagai warganegara yang cerdas dan baik, yang dimaksud untuk membantu perserta didik menjadi warga negara yang aktif, berwawasan luas dan bertanggung jawab[8].
Dilihat visi lain perkembangan citizenship education  dan  civic education, dalam kenyataannya secara historis-epistemologis tidak bisa dipisahkan dari perkembangan pemikiran tentang  social studies/social studies education, seperti dapat dilihat di USA. Mengenai saling keterkaitan antara citizenship education dan civic education  dan social studie, pada dasarnya ada dua pandangan utama. Pandangan pertama melihat citizenship education dan civic education sebagai bagian dari social studies, dan pandangan kedua melihat citizenship education dan civic education sebagai esensi atau inti dari social studies. Sementara itu secara epistemologis, sesungguhnya “Social studies” juga memiliki hubungan erat dengan “social sciences”, karena itu kedudukannya dan keterkaitannya juga harus dipahami dengan jelas[9].
Mencermati penjelasan diatas, maka consep civics tidak pernah lepas dari civic education dan citizenship education, begitu pula perkembangannya di Indonesia, civics dan civics education telah muncul pada tahun 1957, dengan istilah Kewarganegaraan, lalu pada tahun 1962 pelajran civics masuk dalam kurikulum sekolah, dengan bukunya “manusia baru indonesia” yang dikarang oleh Mr. Doepardo, dengan tujuan untuk membentuk warga negara yang baik. pada tahun 1968 keluarlah kurikulum pendidikan tahun 1968 yang baru, maka istilah mata pelajaran civic-kewarganegaraan diganti lagi menjadi pendidikan kewarganegaraan (PKN), pada masa ini metodenya sudah tidak indoktrinasi lagi. Namun pada tahun 1975 melalui GBHN yang mengatakan bahwa “pendidikan pancasila masuk kedalam pendidikan moral pancasila dimasukan dalam kurikulum tingkat sekolah sampai perguruan tinggi” maka nama pendidikan kewarganegaraan berubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Pada tahun 1994, PMP berubah kembali menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) misi yang diembannya adalah pendidikan nilai moral pancasila, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan hukum, dan kemasyarakatan sebagai pendidikan politik. Hingga pada tahun 2003, semua tingkat pendidikan menggunakan nama dan kurikulum yang baru dengan sebutan Pendidikan Kewarganegaraan hingga sampai saat ini[10].
Sampai saat ini secara garis besar mata pelajaran Kewarganegaraan memiliki 3 dimensi yaitu[11]:
  1. Dimensi Pengetahuan Kewarganegaraan (Civics Knowledge) yang mencakup bidang politik, hukum dan moral.
  2. Dimensi Keterampilan Kewarganegaraan (Civics Skills) meliputi keterampilan partisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
  3. Dimensi Nilai-nilai Kewarganegaraan (Civics Values) mencakup antara lain percaya diri, penguasaan atas nilai religius, norma dan moral luhur.

Berdasarkan uraian di atas saya berpendapat bahwa dalam mata pelajaran Kewarganegaraan seorang siswa bukan saja menerima pelajaran berupa pengetahuan, tetapi pada diri siswa juga harus berkembang sikap, keterampilan dan nilai-nilai. Sesuai dengan Depdiknas yang menyatakan bahwa tujuan PKn untuk setiap jenjang pendidikan yaitu mengembangkan kecerdasan warga negara yang diwujudkan melalui pemahaman, keterampilan sosial dan intelektuan, serta berprestasi dalam memecahkan masalah di lingkungannya. Untuk mencapai tujuan Pendidikan Kewarganegaraan tersebut, maka guru berupaya melalui kualitas pembelajaran yang dikelolanya, upaya ini bisa dicapai jika siswa mau belajar. Dalam belajar inilah guru berusaha mengarahkan dan membentuk sikap serta perilaku siswa sebagai mana yang dikehendaki dalam pembelajaran PKn.
Aksiologi Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan kewarganegaraan yang sekarang ada di indonesia memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945[12].
Pendidikan Kewarganegaraan tersebut di tumbuh kembangkan dalam tradisi Citizenship Education yang tujuannya sesuai dengan tujuan nasional negara. Namun, secara umum menurut Nu’man Somantri dalam pendapatnya diatas tujuan mengembangkan pendidikan kewarganegaraan (PKn) adalah agar setiap warga negara menjadi warga negara yang baik (to be good citizens), yakni warga yang memiliki kecerdasan (Civic Intelligence) baik intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual; memiliki rasa bangga dan tanggung jawab (Civic Responsibility); dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Civic Participation) agar tumbuh rasa kebangsaan dan cinta tanah air[13].
Sedangkan menurut pendapat A. Kosasih Djahiri (1994/1995:10) adapun tujuan pembelajaran PKn adalah sebagai berikut[14] :
v  Secara umum tujuan PKn harus mendukung keberhasilan pencapaian Pendidikan Nasional yaitu : Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu menusia beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur memiliki pengetahuan dan keterampilan kesehatan jasmani dan rohani kepribadian mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
v  Secara khusus PKn bertujuan untuk : membina moral yang diharapkan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari yaitu prilaku yang memancarkan iman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Esa dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan agama, prilaku yang bersifat kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku yang mendukung persatuan bangsa dan masyarakat yang beraneka ragam kebudayaan dan beraneka ragam kepentingan bersama di atas kepentingan perorangan dan golongan sehingga perbedaan pemikiran pendapat kepentingan dapat diatasi melalui musyawarah mufakat serta prilaku yang mendukung upaya untuk mewujudkan upaya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menurut pendapat di atas, tujuan utama pendidikan kewarganegaraan yaitu untuk membentuk masyarakat yang memiliki budi pekerti dan selalu berpikir kritis dalam menanggapi isu kewarganegaraanserta selalu berpartisipasi aktif dan bertanggung jawab serta bertindak secara cerdas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga akan menciptakan karakter masyarakat Indonesia yang baik dan aktif dalam kehidupan antar bangsa dan negara.
       Dari tujuan-tujuan yang dimilikinta tersebut sudah jelaslah bahwa pendidikan kewarganegaraan memiliki manfaat yang sangat fital bagi bangsa dan negara, dan sudah barang tentu pendidikan kewarganegaraan ada di setiap jenjang pendidikan yang ada di indonesia karena bisa membuahkan generasi-generasi  penerus yang diharapkan akan mampu mengantisipasi hari depan yang senantiasa berubah dan selalu terkait dengan konteks dinamika budaya, bangsa dan negara, serta memiliki wawasan kesadaran bernegara untuk bela negara berlandaskan pemahaman politik kebangsaan, dan kepekaan mengembangkan jati diri dan moral bangsa dalam perikehidupan bangsa dan bernegara. Semua itu diperlakukan demi tetap utuh dan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.



[1] Kalidjernih,FK. Puspa Ragam Konsep dan Isu Kewarganegaraan. Bandung: Widya Aksara Press, 2009. Hal.54.
[2] Kalidjernih,FK.ibid. Hal.55.
[3]Winataputra. Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Wahana Sistemik Pendidikan Demokrasi. Bandung: Progam Pascasarjana UPI,2006
[4] Winataputra.loc.cit.
[5] Kalidjernih,FK.loc.cit.
[6] Kalidjernih,FK.ibid. Hal.56.
[7] Yuyus Kardiman dan Yasnita Yasin. Ilmu Kewarganegaraan, Jakarta: Laboraturium Sosial Politik Press, 2010. Hal 17.
[8] Yuyus Kardiman dan Yasnita Yasin. loc.cit.
[9] Yuyus Kardiman dan Yasnita Yasin. Ibid. Hal 17.
[10] Yuyus Kardiman dan Yasnita Yasin. loc.cit
[11] Somardi. Ibid. Hal.58.
[12] Srijanti. Ibid. Hal.35.
[13] Srijanti. loc.cit.
[14] Somardi. Ibid. Hal.63.

Indikator-Indikator Rendahnya Mutu Pendidikan Nasional

1.      Banyaknya penganguran
Pengangguran merupakan masalah pokok dalam suatu masyarakat modern. Jika tingkat pengangguran tinggi, sumber daya menjadi terbuang percuma dan tingkat pendapatan masyarakat akan merosot. Situasi ini menimbulkan kelesuan ekonomi yang berpengaruh pula pada emosi masyarakat dan kehidupan keluarga sehari-hari. Saat ini angka penganguran di indonesia masih cukup tinggi, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mencatat saat ini masih ada 7,24 juta orang di Indonesia yang menganggur. Meski begitu, angka ini lebih kecil dibanding angka pengangguran pada 2011 lalu,  tingkat pengangguran di Indonesia per Agustus 2012 menurun menjadi 6,14 persen dibanding Agustus 2011 sebesar 6,56 persen. 
Namun, penurunan angka ini masih terkendala dengan tidak terserapnya angkatan kerja terdidik. Menurut Asisten Deputi Bidang Kepeloporan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olah Raga, Muh Abud Musa'ad, mengatakan angka pengangguran pemuda terdidik mencapai 41,81 persen dari total angka pengangguran nasional. Jumlah pengangguran terdidik terbanyak adalah lulusan perguruan tinggi, yaitu 12,78 persen. Posisi berikutnya disusul lulusan SMA (11,9 persen), SMK (11,87 persen), SMP (7,45 persen) dan SD (3,81 persen). Angka pengangguran pemuda Indonesia pun termasuk yang tertinggi bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Pemuda yang menganggur di Indonesia mencapai 25,1 persen dari total angkatan kerja.
Fenomena ini di dasari oleh kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga pendidikan seperti perguruan tinggi atau sekolah-sekolah belum memadai, atau belum mencapai standar yang ditetapkan. SDM yang tidak memadai ini bisa disebabkan sistem pendidikan kita yang tidak sesuai dengan yang dibutuhkan industri, dan juga anggaran yang disediakan pemerintah untuk sektor pendidikan yang masih rendah sehingga yang dihasilkanpun tidak mencapai ‘buah’ yang maksimal.
Sekarang bukan saatnya lagi Indonesia membangun perekonomian dengan kekuatan asing. Tapi sudah seharusnya bangsa Indonesia secara benar dan tepat memanfaatkan potensi sumberdaya daya yang dimiliki dengan kemampuan SDM yang tinggi sebagai kekuatan dalam membangun perekonomian nasional. Orang tidak bekerja alias pengangguran merupakan masalah bangsa yang tidak pernah selesai. Ada tiga hambatan yang menjadi alasan kenapa orang tidak bekerja, yaitu hambatan kultural, kurikulum sekolah, dan pasar kerja. Hambatan kultural yang dimaksud adalah menyangkut budaya dan etos kerja. Sementara yang menjadi masalah dari kurikulum sekolah adalah belum adanya standar baku kurikulum pengajaran di sekolah yang mampu menciptakan dan mengembangkan kemandirian SDM yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Sedangkan hambatan pasar kerja lebih disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM yang ada untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja.
Yang sangat perlu diperhatikan dalam kaitan dengan pengangguran anak muda, dan terdidik adalah menyiapkan nilai stok keterampilan mereka. Perlu kita akui bahwa kelemahan dari sistem pendidikan kita saat ini adalah sulitnya memberikan pendidikan yang benar-benar dapat memupuk ketrampilan seseorang dalam berkarier atau bekerja. Saat ini pendidikan kita terlalu menekankan pada segi teori dan bukannya praktek. pada masa yang akan datang sistem ini harus diubah dengan sistem pendidikan yang menekankan pada proses peningkatan psikomotorik serta keterampilan-keterampilan kerja yang mesti dikuasai oleh peserta didik, dan hal itu hanya bisa dilakukan dengan memeperbanyak praktek ketimbang teori.
Selain itu pendidikan kita juga harus mengubah cara pandang yang tadinya selalu berorintasi , pada penciptaan tenaga kerja, saat ini harus lebih diarahkan pada penciptaan lapangan kerja atau kewirausahawan. Sistem pendidikan kita harus didorong untuk tidak lagi menghasilkan lulusan-lulusan pencari kerja, tetapi diarahkan untuk dapat menjadi penciptakan lulusan-lulusan pembuat lapangan kerja. Caranya bisa dengan merubah kurikulum pendidikannya yang lebih berorientasi kepada kebutuhan pasar kerja dan bisa juga dengan membebankan mahasiswa atau pelajar sebelum menyelesaikan pendidikannya dengan kewajiban membuat suatu usaha atau kegiatan yang bernilai materi. Hal tersebut tentunya akan melatih pelajar dan mahasiswa untuk berpikir kritis membantu pemerintah menciptakan lapangan pekerjaan.

2.      Tingginya angka putus sekolah
Salah satu faktor yang dapat menjadi tolak ukur rendahnya tingkat pendidikan adalah tingginya angka putus sekolah anak usia produktif (usia sekolah).  Data Tahun 2007 dari Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Departemen Pendidikan Nasional menunjukkan jumlah anak putus sekolah di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2006 angka putus sekolah jumlahnya 899.786 anak. Setahun kemudian pada tahun 2007 bertambah sekitar 20 % menjadi 899.986 anak, dari jumlah penduduk kelompok sekolah yang bersekolah sebesar 55,318,077 anak.
Dari jumlah total penduduk sekolah yang bersekolah tersebut terdapat anak putus sekolah di SD/MI sebanyak 640,445 anak dan  anak putus sekolah di SMP/MTs sebanyak 259,341 anak. Jadi dengan kata lain dari 100 persen anak-anak yang masuk SD, yang melanjutkan sekolah hingga lulus hanya 80 persen, sedangkan 20 persen lainnya putus sekolah.  Dari 80 persen yang lulus SD, hanya sekitar 61 persen yang melanjutkan ke SMP maupun sekolah setingkat lainnya, kemudian dari jumlah tersebut yang sekolah hingga lulus hanya sekitar 48 persen. Sementara itu, dari 48 persen tersebut, yang melanjutkan ke SMA tinggal 21 persen dan berhasil lulus hanya sekitar 10 persen, sedangkan yang melanjutkan ke perguruan tinggi hanya sekitar 1,4 persen.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan sangat tingginya angka putus sekolah di indonesia, yaitu lemahnya ekonomi orang tua dan lingkungan sekolah yang tidak memungkinkan para siswa untuk belajar karena minimnya rendahnya fasilitas-fasilitas pendukung.
Lemahnya keadaan ekonomi orang adalah salah satu penyebab terjadinya anak putus sekolah. Apabila keadaan ekonomi orang tua kurang mampu, maka kebutuhan anak dalam bidang pendidikan tidak dapat terpenuhi dengan baik. Sebaliknya kebutuhan yang cukup bagi anak hanyalah didasarkan kepada kemampuan ekonomi dari orang tuanya, yang dapat terpenuhinya segala keperluan kepentingan anak terutama dalam bidang pendidikan. Kita tidak bisa menutup mata terhadap mahalnya biaya menempuh jenjang pendidikan di negeri ini terutama pendidikan tingkat atas seperti SMA atau Perguruan Tinggi. Biaya pendidikan yang mahal pada jenjang pendidikan tinggi ini menyebabkan masyarakat miskin tidak dapat mengaksesnya. Memang terdapat upaya yang dilakuakan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah ini, misalnya pemberian beasiswa untuk siswa tidak mampu. Namun pada praktik di lapangan, program pendidikan tersebut belum berjalan secara efektif. Semangat menyelenggarakannya belum sinkron dengan sistem pendidikan yang sudah terstruktur demikian lama. Lemahnya database dunia pendidikan kita menjadi salah satu faktor penyebabnya. Patut diakui rendahnya pemahaman akan validitas dan reabilitas data berimbas pada dunia pendidikan kita. Kebijakan pendidikan agar menyentuh semua lapisan pendidikan menjadi pekerjaan tersendiri bagi pihak pemerintah. Pemerataan kebijakan bagi pendidikan ini secara konseptual haruslah menyentuh seluruh lapisan pendidikan baik menyangkut peserta didik maupun pihak–pihak penyelenggara pendidikan. 
Selain masalah tingkat ekonomi yang rendah, lingkungan sekolah juga menyebabkan tingginya angka putus sekolah. Lingkungan sekolah merupakan suatu situasi yang sangat erat kaitannya dengan anak putus sekolah. Di mana sekolah itu merupakan suatu lembaga atau tempat anak memperoleh atau menerima pendidikan dan pengetahuan kepada anak serta berusaha supaya anak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam upaya untuk tercapainya tujuan pendidikan faktor-faktor sarana dan prasarana sangat di butuhkan, seperti fasilitas gedung, ruangan serta alat-alat sekolah lainnya. sarana adalah penunjang utama dalam hal pendidikan bagi anak, tanpa sarana yang memadai, maka pendidikan anak akan terbengkalai. Namun dalam dunia pendidikan kita masalah pemerataan pendidikan ini menjadi faktor utama terhambatnya tujuan-tujuan pendidikan, di daerah-daerah terpencil masih banyak sekolah-sekolah yang kondisinya sangat memprihatinkan dan hal ini berdapak pada motivasi belajar anak, anak menjadi tidak bersemangat dalam mengikuti proses pembelajaran sehingga anak lebih memutuskan untuk berhenti bersekolah.
Selanjutnya di samping kekurangan masalah sarana dan alat-alat sekolah tersebut di atas, juga masih ada masalah tenaga pengajar, yaitu kurangnya tenaga guru. Tenaga pendidik merupakan salah satu faktor terlaksananya pembelajaran, jika guru tidak ada, tentu saja sekolah tadi tidak akan terjadi. Dan para murid yang akan bersekolah, terpaksa tidak bersekolah. Guru sangat menentukan untuk terhindarinya anak-anak putus sekolah.
Untuk mengatasi tingginya angka putus sekolah khususnya pada tingkat SMA atau perguruan tinggi bisa dilakukan dengan berbagai kebijakan dari pemerintah, misalnya Pemerintah tidak pelu menggratiskan semua anak yang masuk sekolah dasar dan sekolah menengah karena tidak semua anak yang masuk sekolah dasar atau menengah merupakan anak dari orang tua yang tidak mampu atau miskin. Yang perlu dibantu itu hanyalah anak orang miskin, sedangkan anak-anak yang berasal dari keluarga mampu dibiarkan untuk membayar biaya sekolah sendiri. Dengan memfokuskan bantuan hanya kepada anak orang miskin untuk bersekolah pada level pendidikan SD dan SMP beban anggaran pemerintah akan berkurang, sehingga anggaran yang terhemat tersebut bisa dialokasikan untuk membantu anak-anak yang kurang mampu dalam melanjutkan sekolah kejenjang SMA atau bahkan Perguruan Tinggi.
Solusi lain untuk mengatasi angka putus sekolah yang tinggi adala melakukan pemerataan pendidikan. Pemerataan pendidikan tersebut bisa berbentuk menyediakan guru-guru yang berkualitas untuk ditempatkan secara proporsional. Artinya pemerintah harus menjamin pemerataan tenaga pendidik yang berkualitas di setiap daerah, agar tidak terjadi ketimpangan tenaga pendidik. Dengan kata lain pemerintah harus menghasilkan guru-guru yang berkualitas untuk menjamin terselenggaranya proses pembelajaran yang baik di setiap daerah-daerah Indonesia. Dan yang terakhir ialah pemberdayaan lembaga pendidikan, pemberdayaan lembaga pendidikan ini dapat melalui pembangunan sarana fisik yang layak, seperti gedung, laboratorium, dan perangkat keras lainnya. Jika setiap sekolah memiliki fasilitas yang lengkap dan mendukung setiap pembelajaran maka otomatis siswa juga akan lebih bersemangat dalam mengikuti proses pembelajaran dan hal ini juga akan berdampak pada tingkat putus sekolah yang akan menurun.
3.      Gaji yang rendah
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pendapatan per kapita masyarakat indonesia pada tahun 2012 ini mencapai US$ 3.005. hal ini sangat baik mengingat negara-negara maju malah sedang mengalami krisis.
Namun peningkatan pendapatan perkapita tersebut tidak menggambarkan kesejahteraan seluruh rakyat indonesia, kesenjangan ekonomi yang tinggi membuat masih saja rakyat indonesia yang hidup pas-pasan bahkan kekurangan. Hal tersebut tergambar dari kaum buruh, the Indonesia Labor Institute mencatat, upah buruh Indonesia yang diterima rata-rata secara nasional sekitar Rp1,1 juta setiap bulan, jauh di bawah upah minimum di China (Rp2,1 juta), Thailand (Rp2,7 juta), Malaysia (Rp4,5 juta) dan Singapura (Rp5 juta). Padahal menurut The Labor Institute Indonesia,  angka rata-rata tersebut sudah mengalami tingkat kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 10,27 persen lebih tinggi dibanding rata-rata kenaikan UMP pada tahun sebelumnya  8,69 persen.
Namun tetap saja dengan upah Rp1,1 juta tersebut buruh indonesia tidak dapat memenuhi kebutuhan riil sehari-hari, apalagi untuk bisa memiliki rumah atau menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Sehingga, sudah dipastikan buruh Indonesia dan keluarganya tidak mempunyai harapan akan masa depan yang lebih baik. Kondisi yang menimpa kaum buruh tersebut sebenarnya tidak jauh beda dengan mayoritas rakyat/kaum lainnya selain buruh. Artinya, problem kesejahteraan ini lebih bersifat problem sistemis dari pada hanya sebatas problem ekonomi, apalagi problem buruh tidak cukup dengan penyelesaian antara buruh dan pengusaha semata. Jika hendak menyelesaikan problem kesejahteraan hidup, baik bagi kaum buruh maupun rakyat secara makro, tentunya penyelesaiannya harus mampu mencakup penyelesaian yang bersifat kasuistis dan sekaligus dibarengi oleh usaha penyelesaian bersifat sistemis-integralistis. Bila penyelesaian yang dilakukan hanya bersifat kasuistis dan parsial, maka problem mendasar seputar kesejahteraan hidup kaum buruh dan rakyat secara menyeluruh tidak akan selesai.
Persoalan gaji yang rendah ini sebenarnya di dasari oleh tingkat kualitas SDM indonesia yang masih rendah, dengan rendahnya kualitas yang di milik menyebabkan orang mau saja menerima pekerjaan walaupun harus di bayar dengan gaji yang rendah dan tidak sepadan dengan tenaga yang di keluarkan. Sebenarnya bila ditinjau dari segi jumlah penduduk yang besar, SDM Indonesia merupakan sumber daya yang sangat potensil untuk dapat dimanfaatkan sebagai modal pembangunan nasional. Akan tetapi karena sebagian besar SDM Indonesia memiliki kualitas yang rendah, justru masalah ini malah menjadi beban pembangunan nasional. Oleh karena itu upaya peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan merupakan jawaban yang paling jitu untuk merubah keadaan SDM menjadi modal pembangunan.
Dalam sebuah penelitian, diuangkapkan bahwa produktivitas manusia Indonesia begitu rendah. Hal ini dikarenakan kurang percaya diri, kurang kompetitif, kurang kreatif dan sulit berprakarsa sendiri (selfstarter, N Idrus CITD 1999). Tentunya, hal itu disebabkan oleh sistem pendidikan yang top down, dan yang tidak mengembangkan inovasi dan kreativitas. Kreatifitas diperlukan untuk bisa bertahan hidup dan tidak rentan dalam menghadapi berbagai kesulitan. Dengan kreatifitas, seseorang menjadi dinamis dan bisa menemukan jalan keluar yang positif ketika menghadapi kesulitan atau masalah. Tapi justru didalam pendidikan kita kreatifitas ini tidak dikembangkan secara optimal. Tidak heran di dalam masyarakat Indonesia dewasa ini muncul banyak kritikan baik dari praktisi pendidikan maupun dari kalangan pengamat pendidikan mengenai pendidikan nasional yang tidak mempunyai arah yang jelas.
Sistem pendidikan perlu dirubah total karena jika kita terus bertahan disistem pendidikan lama seperti sekarang ini maka kita akan terus terpuruk khususnya dibidang ekonomi. Karena sistem pendidikan diIndonesia terus menerus melatih siswa dengan mematikan karakteristik dan bakat terpendam siswa. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi tuntutan globalisasi seyogyanya kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan sistem pendidikan perlu dirubah. Sistem pendidikan kita perlu mengintegrasikan diri dengan dunia kerja, dengan pengertian kualitas SDM seperti apa saja yang dibutuhkan oleh dunia kerja harus dipenuhi oleh dunia pendidikan.  Untuk memenuhi kualitas yang dibutuhkan oleh dunia kerja tersebut siswa butuh praktek lapangan bukan hanya duduk diam dan mendengarkan serta diberi test tulis yang amat membosankan, tapi berilah soal dunia nyata agar pikiran bawah sadar dan kreativitasnya dapat optimal serta terlatih. Dengan praktek-praktek tersebut kualitas siswa akan semakin meningkat, dengan meningkatnya kualitas siswa tersebut maka juga akan meningkatkan dasa saing dan nilai jual siswa jika ia bekerja. Dengan kata lain jika siswa memiliki kualitas, siswa tidak mungkin lagi digaji dengan rendah jika ia bekerja nanti.
4.      Lamanya penyelesaian studi
Indonesia termasuk negara yang paling lama dalam penyelesaian studinya. jika dilihat dari Jumlah hari Sekolah Indonesia termasuk negara yang menerapkan jumlah hari belajar efektif dalam setahun yang tertinggi di dunia. Jumlah hari efektif pembelajaran di indonesia  yaitu 220 hari dalam setahun. Jika dibandingkan dengan Finlandia yang dalam indeks pembangunan pendidikannya menempati urutan teratas sangat jauh perbandingannya, siswa-siswa Finlandia ke sekolah hanya sebanyak 190 hari dalam satu tahun. Jumlah hari liburnya 30 hari lebih banyak daripada di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri kita masih menganut pandangan bahwa semakin sering ke sekolah anak makin pintar, Bahkan terkadang para guru mesih memberikan tugas sekolah selama masa liburan sehingga sekolah merupakan suatu hal yang tidak menyenangkan.sedangkan Finlandia malah berpandangan semakin banyak hari libur anak makin pintar. Guru di finlandia pun dalam menerapkan tugas dibatasi hanya boleh minyita waktu setengah jam dalam sehari.
Selain itu indonesia dalam sistem pendidikannya terlalu gemuk dengan mata pelajaran-pelajaran yang sebenarnya sangat tidak relevan dengan perkembangan jaman. Akibatnya semua mata pelajaran tersebut dalam proses pembelajaran hanya dibahas sampai ketingkat dasarnya saja bukan keinti mata pelajaran tersebut. Hal tersebut berdampak berdampak kepada lamanya penyelesaian studi di indonesia. Yang menjadi masalah makin lama seseorang menyelesaikan studi, maka pengetahuannya justru semakin tidak relevan dan tidak valid.
Dari masalah diatas tersebut terlihat bagaimana tidak efisen dan efektifnya pendidikan di indonesia. Solusi yang dapat diterapkan untuk mengatasi masalah ini adalah mengurangi jumlah mata pelajarang yang ada dalam dunia pendidikan indonesia. Pelajaran-pelajaran dapat di integrasikan dan di orientasikan sehingga menjadi efektif dan efisisen dalam pembelajarannya. Hal ini sama seperti yang diterapkan di Finlandia, dalam pendidikan negara tersebut terdapat 6 mata pelajaran inti yang semuanya terbungkus dengan kata orientation. kenapa disebut orientation, karena kurikulum di Finlandia memiliki konsep gagasan bahwa 6 mata pelajaran ini bukan mengharuskan siswa belajar isi dari seluruh pelajaran ini namun mengajak anak didik untuk mulai memperoleh kemampuan menjelajah dan memahami fenomena-fenomena alam yang ada disekitar mereka. Maka jika anda melihat ada tiga kata yang dipakai disini yaitu examine, understand, & experience. jadi siswa melatih kemudian memahami dan mencoba. Dengan menerapkan sistem ini pada hakikatnya siswa tidak belajar isi dari buku-buku tetapi berinteraksi dengan ilmu-ilmu tersebut, jadi pengetahuan siswa akan semakin dalam dan kuat.

Selain itu solusi yang selanjutnya dapat diterapkan untuk mengatasi lamanya penyelesaian studi adalah menerapkan sistem SKS pada sekolah. Alasan penerapan sistem SKS ini lebih didasari oleh keberagaman serta kebutuhan peserta didik, kita tentu menyadari bahwa setiap individu pasti berbeda, baik berbeda minat, bakat, dan kecepatan dalam belajar. Nah dengan sistem SKS ini diharapkan kebutuhan dan keragaman peserta didik dapat teratasi. Peserta didik yang memiliki tingkat intelektual yang tinggi pun juga dimungkinkan untuk menyelesaikan program pendidikannya lebih cepat dari periode belajar yang ditentukan dalam setiap satuan pendidikan. Selain itu dengan sistem SKS ini peserta didik dapat dikurangi beban jumlah mata pelajaran yang selama ini terlalu banyak. Sehingga peserta didik dapat mencapai kompetensi mata pelajaran lebih luas dan mendalam.

teori belajar dan penerapanya

a)      Teori Behavioristik
Teori Belajar behavioristik adalah teori belajar yang menekankan pada tingkah laku manusia sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Pengertian belajar menurut pandangan teori behavioristik, adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar jika ia telah menunjukan  perubahan tingkah laku. Menurut teori ini, yang terpenting adalah masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau out put yang berupa respon. Sedangkan apa yang terjadi diantara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan, karena tidak dapat diamati dan diukur.
Penerapan teori behavioristik dalam kegiatan belajar
Dalam aplikasinya di dalam kegiatan belajar teori behavioristik bergantung kepada sistem pembelajaran dengan pengetahuan yang telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar melalui motede ini hanyalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) dari pengajar ke peserta didik. Fungsi mind dalam teori ini hanyalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut, dan peserta didik diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Demikian halnya dalam pembelajaran, peserta didik dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para peserta didik. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar peserta didik diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Dampak dari penerapan teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan kebebasan bagi peserta didik untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
b)     Teori Belajar kongnitivistik
Teori kognitivistik adalah suatu teori yang lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar itu sendiri. Menurut teori ini Belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Dan perubahan persepsi serta pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati. belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon, lebih dari itu belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Asumsi dasar teori ini adalah setiap orang telah mempunyai pengalaman dan pengetahuan dalam dirinya. Pengalaman dan pengetahuan ini tertata dalam bentuk struktur kognitif. Menurut teori ini proses belajar akan berjalan baik bila materi pelajaran yang baru beradaptasi dengan struktur kognitif yang telah dimiliki oleh siswa.
Penerapan teori kognitivistikdalam kegiatan belajar
Penerapan teori belajar kognitivistik dalam pembelajaran yaitu guru harus memahami beberapa hal, seperti ; 1) bahwa siswa bukan sebagai orang dewasa yang pola pikirnya sudah maju sehingga mudah dalam proses berpikirnya, 2) Pada anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar proses belajar haruslah  menggunakan benda-benda konkret, 3) Guru menuyusun materi dengan menggunakan pola atau logika tertentu dari sederhana ke kompleks, 4) Guru harus menciptakan pembelajaran yang bermakna dan memperhatikan perbedaan individual siswa untuk mencapai keberhasilan siswa, dan 5) Guru hendaknya memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Sedangkan menurut Piaget, aplikasi teori kognitif dalam pembelajaran, yaitu ; 1) Memusatkan perhatian pada cara berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar hasilnya. Guru harus memahami proses yang digunakan anak sehingga sampai pada hasil tersebut. Pengalaman-pengalaman belajar yang sesuai dikembangkan dengan memperhatikan tahap fungsi kognitif dan jika guru penuh perhatian terhadap pendekatan yang digunakan siswa untuk sampai pada kesimpulan tertentu, barulah dapat dikatakan guru berada dalam posisi memberikan pengalaman yang dimaksud, 2) Mengutamakan peran siswa dalam berinisisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar. Dalam kelas, pengajaran pengetahuan jadi (ready mode knowledge) anak didorong menentukan sendiri pengetahuan itu melalui interaksi sponta dengan lingkungan, 3)  Memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan. Teori Kognitif mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh dan melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertunbuhan itu yang berlangsung pada kecepatan berbeda. Oleh karena itu, guru harus melakukan upaya untuk mengatur aktivitas dalam kelas yang terdiri dari individu-individu ke dalam kelompok-kelompok kecil siswa daripada aktivitas dalam kelompok klasikal, dan 4) Mengutamakan peran siswa saling berinteraksi. Menurut piaget, pertukaran gagasan-gagasan tidak dapat dihindari untuk perkembangan penalaran. Walaupun penalaran tidak dapat diajarkan secara langsung, perkembangannya dapat disimulasikan.
c)      Teori belajar humanistic

Teori Belajar Humanistik adalah suatu teori dalam pembelajaran yang mengedepankan bagaimana memanusiakan manusisa serta bagaimana peserta didik mampu mengembangkan potensi dirinya. dalam teori belajar humanistik proses belajar harus berhulu dan bermuara  pada manusia itu sendiri. Dalam kesehariannya teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan  kata lain, teori ini lebih tertarik pada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada belajar seperti apa adanya, seperti apa yang bisa kita amati dalam dunia keseharian.. Teori apapun dapat dimanfaatkan asal tujuan untuk“memanusiakan manusia” (mencapai aktualisasi diri dan sebagainya) dapat tercapai.
Penerapan teori humanistic dalam kegiatan belajar
Dalam aplikasi teori humanistic lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa, yang memberikan motivasi dan kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran. Teori humanistik cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar. Dalam teori ini siswa berperan sebagai pelaku utama ( student center ) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Dalam aplikasi pembelajaranya, teori humanistic lebih menekankan tujuan pembelajarannya kepada proses belajar dari pada hasil belajar.


d)     Teori Belajar Kontruktivistik
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang lebih menekankan pada proses dan kebebasan dalam menggali pengetahuan serta upaya dalam mengkonstruksi pengalaman. Dalam proses belajarnya pun, memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga siswa menjadi lebih kreatif dan imajinatif serta dapat menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Yang terpenting dalam teori konstruktivitik adalah bahwa dalam proses pembelajaran siswalah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukannya guru atau orang lain. Peserta didik perlu di biasakan untuk memecahkan masalah dan memenemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan bergelut dengan ide-ide. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan karena Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa.
Paradigma lonstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Oeh karena itu meskipun kemamuan awal tersebut masih sangat sederhana atau tidak sesuai dengan pendapat guru, sebaiknya diterima dan dijadikan dasar pembelajaran dan pembimbingan.
Penerapan teori  konstruktivistik dalam kegiatan belajar

Teori konstruktivistik membawa implikasi dalam pembelajaran yang harus bersifat kolektif atau kelompok, peserta didik yang dibagi-bagi dalam kelompok tersebut dituntun untuk lebih aktif dalam mencari pengetahuan atau materi-materi yang akan dibahas. Sedangkan peran guru dalam pembelajaran menurut teori kontruktivisme hanya sebatas sebagai fasilitator atau moderator. Artinya guru bukanlah satu-satunya sumber belajar yang harus selalu ditiru dan segala ucapandan tindakannya selalu benar. Sebagai fasilitator, guru berperan dalam memberikan pelayanan untuk memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran.