1.1 Pengertian Demokrasi Terpimpin
Demokrasi
terpimpin adalah sebuah sistem demokrasi yang
berjalan antara tahun 1959 sampai dengan tahun 1966, dimana dalam sistem
demokrasi ini seluruh keputusan serta
pemikiran berpusat pada pemimpin negara yang kala itu dipegang oleh Presiden Soekarno.
Konsep sistem Demokrasi Terpimpin pertama kali diumumkan oleh Presiden Soekarno
dalam pembukaan sidang konstituante pada
tanggal 10
November 1956. Adapun
ciri-ciri demokrasi terpimpin sebagai berikut:
1. Dominasi
presiden, Presiden Soekarno berperan besar dalam penyelenggaraan pemerintahan.
2. Terbatasnya
peran partai politik.
3. Meluasnya
peran militer sebagai unsur politik
4. Berkembangnya
pengaruh Partai Komunis Indonesia.
1.2 Latar Belakang Sejarah dan Awal Diberlakukannya
Demokrasi Terpimpin
5
|
Di
awali dari maklumat Hatta sebagai wakil presiden waktu itu, di mana dalam
maklumat tersebut menganjurkan perlunya pembentukan partai-partai, yang
ternyata mendapat sambutan luas hingga pada waktu itu lebih kurang 40 partai
telah lahir di Indonesia, tetapi pada kenyataannya dalam kondisi yang
sedemikian, bukannya menambah suburnya sistem Demokrasi di Indonesia. Buktinya
kabinet-kabinet yang ada pada waktu itu tidak pernah bertahan sampai 2 tahun
penuh dan terjadi perombakan-perombakan dengan kabinet yang baru, dan bahkan
menurut penilayan presiden Soekarno banyaknya partai hanya memperunyam masalah
dan hanya menjadi penyebab perpecahan, bahkan dalam nada pidatonya dia menilai
partai itu adalah semacam pertunjukan adu kambing yang tidak bakalan
berpengaruh baik bagi Bangsa dan negara.
Menurut
pengamatan Soekarno Demokrasi Liberal tidak semakin mendorong Indonesia
mendekati tujuan revolusi yang dicita-citakan, yakni berupa masrakat adil dan
makmur, sehingga pada gilirannya pembangunan ekonomi sulit untuk di majukan,
karena setiap fihak baik pegawai negeri dan parpol juga militer saling berebut
keuntungan dengan mengorban kan yang lain. Keinginan presiden Soekarno untuk
mengubur partai-partai yang ada pada waktu itu tidak jadi dilakukan, namun
pembatasan terhadap partai di berlakukan, dengan membiarkan partai politik
sebanyak 10 partai tetap bertahan. Yang akhirnya menambah besarnya gejolak baik
dari internal partai yang di bubarkan maupun para tokoh-tokoh yang
memperjuangkan “Demokrasi liberal” juga daerah-daerah tidak ketinggalan. Dan
keadaan yang demikian, akhirnya meaksa Soekarno untuk menerapkan “Demokrasi
terpimpin” dengan dukungan militer untuk mengambil alih kekuasaan.
Selain dasar pemikiran tersebut, ada
beberapa bebrapa peristiwa dari berbagai segi yang menyebabkan pemikiran
soekarno untuk mengganti sistem dari demokrasi liberal ke demokrasi terpimpin
semakin kuat, peristiwa-peristiwa yang akhirnya menjadi alasan tersebut yaitu:
1.
Dari
segi keamanan nasional: Banyaknya gerakan
separatis pada masa demokrasi
liberal, menyebabkan
ketidakstabilan negara.
2.
Dari
segi perekonomian : Sering terjadinya pergantian kabinet pada masa demokrasi
liberal menyebabkan program-program yang dirancang oleh kabinet tidak dapat
dijalankan secara utuh, sehingga pembangunan ekonomi tersendat.
Masa Demokrasi Terpimpin yang dicetuskan oleh
Presiden Soekarno diawali oleh anjuran Soekarno agar Undang-Undang yang
digunakan untuk menggantikan UUDS
1950 adalah UUD
1945. Namun usulan itu menimbulkan pro dan kontra
di kalangan anggota konstituante. Sebagai tindak lanjut usulannya,
diadakan pemungutan suara yang diikuti oleh seluruh anggota
konstituante . Pemungutan suara ini dilakukan dalam rangka mengatasi konflik
yang timbul dari pro kontra akan usulan Presiden Soekarno tersebut. Hasil
pemungutan suara menunjukan bahwa :
·
269 orang
setuju untuk kembali ke UUD 1945
·
119 orang
tidak setuju untuk kembali ke UUD 1945.
Melihat dari hasil voting, usulan untuk
kembali ke UUD 1945 tidak dapat direalisasikan. Hal ini disebabkan oleh jumlah
anggota konstituante yang menyetujui usulan tersebut tidak mencapai 2/3 bagian,
seperti yang telah ditetapkan pada pasal 137 UUDS 1950. Bertolak dari hal tersebut,
Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekrit yang disebut Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 :
1.
Tidak
berlaku kembali UUDS 1950
2.
Berlakunya
kembali UUD 1945
3.
Dibubarkannya
konstituante
Tujuan
dari dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ini bertujuan untuk
menyelesaikan masalah negara yang semakin tidak menentu demi menyelamtkan
negara. dengan keluarnya Dekrit ini Pada tanggal 5 Juli 1959 secara otomatis
parlemen dibubarkan dan Presiden Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit
presiden. Soekarno juga membubarkan Konstituante yang ditugasi untuk menyusun
Undang-Undang Dasar yang baru, dan sebaliknya menyatakan diberlakukannya
kembali Undang-Undang Dasar 1945, dengan semboyan “Kembali ke UUD’ 45″. Selain
itu Presiden Soekarno juga memperkuat peran-peran Angkatan Bersenjata dengan
mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting.
1.3
Awal
Berjalannya Demokrasi Terpimpin
Konsep
Demokrasi terpimpin yang hendak membawa PKI masuk kedalam kabinet ini juga
menyebut-nyebut akan di bentuknya lembaga negara baru yang ekstra
konstitusional yaitu ( Dewan Nasional), yang akan di ketuai oleh soekarno
sendiri yang bertugas memberi nasehat kepada kabinet maka untuk itu harus di
bentuk kabinet baru yang melibatkan semua partai termasuk PKI serta di bentuk
Dewan penasehat tertinggi dengan nama “Dewan Nasional” yang beranggotakan
wakil-wakil seluruh golongan fungsional. Dewan ini diketuai oleh presiden,
namun dalam prakteknya sehari-hari diserahkan kepada Roeslan abdul gani,
walaupun Dewan Nasional ini tidak ada dasarnya dalam konstitusi,. Dan
peranannya memang cukup menentukan yaitu sebagai “penasihat” pemerintah yang
dalam praktiknya telah menjadi semacam DPR bayangan di samping DPR hasil pemilu
1955. Pembentukan Dewan Nasional ini, berdasarkan atas (SOB) atau amanat
keadaan darurat dan bahaya perang yang di umumkan oleh presiden soekarno
sebelum terbentuknya kabinet Juanda itu, mengingat Indonesia di hari-hari itu
memang dalam keadaan genting dan potensi kionflik yang lebih besar segera
mengancam keutuhan NKRI.
Setelah dekrit presiden 5 juli 1959 kabinet
Juanda menyerahkan mandatnya kepada presiden melalui pemberlakuan kembali proklamasi
dan UUD 1945, presiden Soekarno langsung memimpin pemerintahan bahkan bukan
saja kepala negara tetapi juga kepala pemeritahan yang membentuk kabinet yang
mentri-mentrinya tidak terikat kepada partai.
Presiden Soekarno mengembalikan Revolusi Indonesia ke jalan yang benar,
mengubah wacana dari Demokrasi Parlementer ke Demokrasi Terpimpin. Suatu
istilah yang sarat kontradiksi baik dalam teori maupun prakteknya.
Awal munculnya Demokrasi Terpimpin
telah memicu perang sipil yang luas. Presiden Soekarno menampilkan Demokrasi
Terpimpin sebagai sebuah bentuk organisasi politik yang lebih tinggi dari
Demokrasi Parlementer. Lebih jauh, sosialisme yang di bawah Demokrasi Terpimpin
diidentifikasi sebagai bentuk sosialisme khas Indonesia yang oleh Soekarno
disebut Marhainisme. Marhaenisme,
dalam pemikiran Soekarno adalah Marxisme yang
dipraktekkan atau diterapkan di Indonesia. Jeanne S. Mintz menyatakan bahwa “Bentuk
khusus Marxisme ini adalah program pemerintah pada masa itu yang diharapkan
menjadi sebuah koalisi dari faksi nasionalis, agama dan komunis”.
Ide Bung Karno tentang konsep Marhaenisme berkaitan dengan pendapat Clifford Geertz yang
membagi masyarakat Jawa dalam tiga varian: priyayi, santri, dan abangan. Yang
bisa diterjemahkan priyayi adalah kaum Nasionalis, santri adalah kaum Agamis, dan
abangan adalah kaum Komunis. yang ketiga-tiganya merupakan kekuatan yang sangat
dominan dalam masyarakat indonesia dan kekuatannya atau suaranya merupakan
representasi kekuatan atau pendapat masyarakat indonesia, yang diharapkan tetap
bersatu untuk menyelesaikan masalah bangsa secara bersama-sama.
Perwujudan dari konsep Marhaenisme tersebut diberi
NASAKOM singkatan dari Nasionalisme Agama dan Komunis. Suatu wadah yang
mendasarkan pada NASAKOM dibentuk pada tahun 1960 dan disebut Front Nasional.
Semua partai termasuk PKI terwakili di dalamnya. Begitu juga kelompok-kelompok
yang sebelumnya kurang mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses
membuat keputusan seperti golongan fungsional dan ABRI. Front Nasional yang ternyata
dipakai oleh pihak komunis sebagai arena kegiatan, sesuai dengan taktik
Komunisme Internasional yang menggariskan pembentukan Front Nasional sebagai
persiapan ke arah terbentuknya demokrasi rakyat. Melalui kehadiranya dalam
Front Nasional yang bedasarkan NASAKOM, PKI berhasil mengembangkan sayapnya dan
mempengaruhi hampir semua kehidupan politik. Secara umum dianggap Bahwa Front
Nasional ditujukan untuk melemahkan kedudukan partai-partai politik.
3.4 Campur Tangan Presiden Soekarno Pada
Lembaga Legislatif dan Yudikatif Yang Bertentangan Dengan Konstitusi.
Pada masa demokrasi terpimpin terjadi
campur tangan kepala eksekutif pada lembaga-lembaga kenegaraan lain seperti
legislatif dan yudikatif. Campur tangan Presiden Soekarno didalam bidang
legislatif, yang dalam hal ini melanggar konstitusi negara, Misalnya pada tanggal 5 Maret 1960
Ir.Soekarno sebagai Presiden membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat hasil
pemilihan umum tahun 1955 yang pada saat itu diketuai oleh Mr. Sartono dengan
penetapan Presiden No.3 Tahun 1960, pembubaran ini disebabkan terjadi
perselisihan pendapat antara DPR dengan pemerintah mengenai penetapan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk tahun 1961. Setelah DPR hasil pemilu
dibubarkan, presiden Soekarno kemudian membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong
Royong (DPRGR) melalui penetapan presiden No.4 tahun. Semua anggota DPR-GR
tidak lagi didasarkan pada atas perimbangan kekuatan partai politik dalam
pemilu, melainkan diatur sedimikan rupa agar untuk menjamin adanya kerjasama
antara pemerintah dengan DPR. Seperti halnya MPRS, semua anggota DPR-GR
dipilih, diangkat dan diberhetikan oleh Presiden Soekarno.
Padahal
dalam penjelasan Undang-undang Dasar 1945 secara eksplisit ditentukan “bahwa
dewan perwakilan rakyat merupakan penjelmaan seluruh rakyat indonesia dan dewan
tidak dapat dibubarkan oleh Presiden” oleh karena itu tindakan
Soekarno untuk membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilu adalah suatu
kesalahan besar dalam konstitusi indonesia karena dalam hal ini presiden tidak
mempunyai wewenang melakukan hal yang demikian.
Pada
masa demokrasi terpimpin terjadi perubahan tugas dan fungsi DPR. DPR yang
seharusnya menurut UUD 1945 sebagai suatu badan perwakilan rakyat yang
mengawasi atau mengontrol tindakan-tindakan pemerintah, dalam demokrasi
terpimpin tidaklah lebih dari lembaga yang mengesahkan secara formil-yuridis
apa saja yang diputuskan dan apa saja yang dilakukan presiden. Lebih parah lagi
berdasarkan Peraturan Tata Tertib Presiden No.14 tahun 1960 yang berisikan:
“keputusan DPR sedapat mungkin diambil dengan kata mufakat”, akan tetapi
ditetapkan pula bahwa jika tidak terjadi kata mufakat, maka presiden yang akan
mengambil keputusan dengan memperhatikan pendapat-pendapat yang dikemukakan
dalam musyawarah. Dengan demikian kepala eksekutif diberi wewenag dalam
pengambilan keputusan badan legislatif.
Atas
dasar-dasar tersebut DPR sebagai lembaga legislatif pada masa demokrasi
terpimpin kekuatannya sangat lemah. Kelemahan-kelemahan DPR sebagai badan
legislatif tercermin dari, sikap DPR yang membiarkan lembaga eksekutif dapat mengadakan
penetapan-penatapan presiden atas dasar Dekrit 5 juli 1959, seolah-olah Dekrit 5
Juli tersebut merupakan sumber hukum baru, padahal dekrit itu hanya sekedar
menuntun langkah-lahkah kembali ke undang-undang dasar 1945. Sesudah itu, semua
perundang-undangan seharusnya bedasarkan langsung pada undang-undang dasar
1945.
Peraturan
presiden yang menyatakan jika tidak terjadi kata mufakat, maka presiden yang
akan mengambil keputusan dengan memperhatikan pendapat-pendapat yang
dikemukakan dalam musyawarah ini sebenarnya sangat melanggar etiaka dan
kaedah-kaedah dari demokrasi. Di dalam kaedah-kaedah dan etika Demokrasi jika
memang tidak terjadi kata mufakat di dalam lembaga DPR maka keputusan harusnya
diambil dengan Voting atau suara
terbanyak (mayoritas) karena menurut Walzer prinsip mayoritas merupakan hal
yang esensial didalam demokrasi, metode mayoritas ini juga yang menurut Walzer
dapat menghilangkan keragu-raguan, ketidakpastian proses politik dan hukum
ketatanegaraan dalam kehidupan bernegara.
Dalam konsep demokrasi yang sebagai mana
undang-undang dasar amanatkan, kesalahan-kesalahan presiden soekarno dalam
demokrasi terpimpin seperti Presiden tidak hanya melanggar kebebasan lembaga
legislatif tetapi presiden juga telah melanggar kebebasan lembaga yudikatif. Pada
Lembaga Yudikatif Presiden diberi wewenang untuk campur tangan di bidang
Yudikatif berdasarkan Undang-Undang No.19 tahun 1964 tentang kekuatan pokok
kekuasaan kehakiman, yang dalam pasal 19 undang-undang tersebut dinyatakan:
“demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa atau kepentingan
masyarakat yang mendesak, presiden dapat turut atau campur tangan dalam soal
pengadilan.” Di dalam penjelasan umum undang-undang tersebut dinyatakan bahwa
trias politika tidak mempunyai tempat sama sekali dalam hukum nasional
indonesia karena kita sedang berada dalam revolusi dan dikatakan selanjutnya
bahwa pengadilan adalah tidak bebas dalam pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan
membuat undang-undang.
Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan penjelasan
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 24 dan 25 yang menyatakan bahwa “kekuasaan
kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah”. Oleh karena itu
pemerintahan demokrasi terpimpin sudah terlalu jauh mencampuri urusan lembaga
yudikatif yang akan berdampak kepada hilangnya kemerdekaan dan keadilan hukum
pada rakyat.
Dengan
adanya sentralisasi tiga kekuasaan negara ini mengakibatkan keputusan-keputusan
yang diambil dalam hal urusan negara, sosial dan ekonomi selalu memihak kepada
penguasa dengan begitu bahwa tidak dapat dipungkiri bahwa kemerdekaan rakyat
telah direnggut oleh penguasa. Sebagaimana yang diungkapkan Montesquieu dalam
teori trias politika, Montesquieu berprndapat bahwa kemerdekaan hanya dapat
dijamin apabila ketiga fungsi legistatif, yudikatif dan eksekutif tidak
dipegang oleh satu orang atau satu badan, tetapi oleh ketiga orang atau badan
yang terpisah. Dikatakan olehnya “kalau kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif
disatukan dalam satu orang atau satu badan penguasa, maka tidak akan ada
kemerdekaan. Akan merupakan malapelaka kalau seandainya satu orang atau satu
badan, apakah terdiri dari kaum bangsawan atau rakyat jelata, diserahi tugas
untuk menyelenggarakan ketiga-tiga kekuasaan itu, yakni kekuasaan membuat
undang-undang, menyelenggarakan keputusan-keputusan umum, dan mengadili
persoalan individu.”
Pokok-pokok
teori mentesquieu menginginkan jaminan kemerdekaan individu bagi individu
terhadap tindakan sewenang-wenang dari penguasa, dan hal itu menurut
pandangannya hanya mungkin tercapai jika diadakan pemisahan mutlak antara
ketiga kekuasaan tersebut. Hal itu lah yang tidak dilakukan soekarno selama
penerapan sistem demokarasi terpimpin, sehingga rakyat tidak dapat meraih
kemerdekaan untuk berpolitik. Dan hal ini tidak sejalan dengan konstitusi
indonesia yang menjamin kebebasan berpendapat. Dengan kata lain
tindakan-tindakan Soekarno dalam demokrasi terpimpin yang melanggar suatu
demokrasi yang bedasarkan pada konstitusi.
Jika dikaji menurut Teori pada masa demokrasi
terpimpin ini lebih banyak menganut paham sosialisme, Dimana dalam teori
sosialisme yang dikemukakan Jacobsen dan Lipman menyatakan bahwa dalam
sosialisme berarti semua gerakan sosial mengendaki campur tangan pemerintah
yang seluas-luasnya, fungsi negara harus sedimikian luas sehingga tidak ada
lagi aktifitas sosial yang tidak diselenggarakan oleh negara. Oleh karena itu
bedasarkan teori ini dalam masa demokrasi terpimpin pemerintah yang pada masa itu
dipegang oleh Presiden Soekarno berhak ikut campur dalam segala urusan Negara
termasuk ikut masuk dalam pembuatan keputusan di lembaga-lembaga negara
termasuk badan ligislatif dan yudikatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar