Ontologi Pendidikan
Kewarganegaraan
PKn
merupakan bidang studi yang bersifat multifaset dengan konteks lintas keilmuan.
Namun secara filsafat keilmuan, ia memiliki Ontologi pokok ilmu politik
khususnya konsep “political democracy” untuk
aspek “duties and right citizens”
(Chreshore:1886). Dari ontologi pokok inilah berkembang konsep “Civics”, yang secara harfiah diambil
dari bahasa latin yaitu “civicus”
yang artinya warga negara pada masa yunani kuno, yang kemudian diakui secara
akademis sebagai embrionya “civic
education”, yang selanjutnya di indonesia diadaptasi menjadi “pendidikan
kewarganegaraan” (PKn). Saat ini tradisi itu sudah berkembang pesat menjadi
suatu “Body of knowledge” yang
dikenal memiliki paradigma sistemik, yang didalamnya terdapat tiga domain “Citizenship education”, yakni domain akademis, domain kurikuler, dan domain
sosial kultural[1].
Ketiga
domain tersebut satua sama lain saling memiliki keterkaitan stuktural dan
fungsional yang diikat oleh konsepsi “civic
virtue and cultere” yang mencakup civic
knowledge, civic disposition, civic skills, civic confidence, civic comitment
dan civic competence. Oleh karena itu ontologi PKn saat ini sudah lebih luas dari
pada embrionya sehingga kajian keilmuan PKn, program kurikuler PKn,
dan aktivitas social-kultural PKn saat ini benar-benar multifaset atau multi
dimensional. Sifat multidimensional inilah yang membuat bidang studi PKn dapat
disikapi sebagai : pendidikan kewarganegaraan, pendidikan politik, pendidikan
nilai dan moral, pendidikan kebangsaan pendidikan kemasyarakatan, pendidikan
hukum dan hak azasi manusia, dan pendidikan demokrasi[2].
Menurut pendapat di atas, pendidikan
kewaganegaraan merupakan
bidang
studi yang mencakup lintas bidang keilmuan karena dalam pendidikan
kewarganegaraan terdapat pula pokok ilmu politik kemudian berkembang
konsep civics yang berarti warga negara kemudian berkembang menjadi civics education
yang selanjutnya diadaptasi menjadi
pendidikan
kewarganegaraan. Namun PKn di Indonesia
selain mendasarkan pada Ontologi pokok yaitu Ilmu Politik juga brangkat dari
Pancasila dan Konsepsi kewarganegaraan lainnya, oleh karena itu di indonesia
PKn sering juga disebut dengan PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan).
Perkembangan PKn di Indonesia juga tidak boleh keluar dari landasan ideologis
Pancasila, landasan konstitusional UUD 1945, dan landasan operasional
Undang-Undang Sisdiknas yang berlaku saat ini, yakni UU Nomor 20 tahun 2003.
Pendapat
lain mengatakan PKn Secara ontologikal memilki dua dimensi, yakni obyek telaah
dan obyek pengembangan (Winataputra, 2001). Obyek telaah adalah keseluruhan
aspek idiil, instrumental, dan praktis PKn yang secara internal dan eksternal
mendukung sistem kurikulum dan pembelajaran PKn di sekolah dan di luar sekolah,
serta format gerakan sosial-kultural kewarganegaraan masyarakat. Sedangkan
obyek pengembangan atau sasaran pembentukan adalah keseluruhan ranah
sosio-psikologis peserta didik yang oleh Bloom dkk, dikategorikan ke dalam
ranah kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik, yang menyangkut status, hak
dan kewajibannya sebagai warga negara yang perlu dimuliakan dan dikembangkan
secara programtik guna mencapai kualitas warga negara yang “cerdas, dan baik”
dalam arti religius, demokratis dan berkeadaban dalam konteks kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara[3].
Yang
dimaksud dengan aspek idiil dalam objek telaah PKn adalah landasan dan kerangka
filosofis yang menjadi titik tolak dan sekaligus sebagai muaranya pendidikan
kewarganegaraan diIndonesia. Yang termasuk dalam aspek idiil PKn adalah
landasan dan tujuan pendidikan nasional, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945,
UU No. 20 Thn 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Aspek instrumental dalam
objek telaah PKn adalah sarana programatik pendidikan yang sengaja dibangun dan
dikembangkan untuk menjabarkan substansi aspek-aspek idiil. Yang termasuk ke
dalam aspek ini adalah; kurikulum, bahan belajar, guru, media dan sumber
belajar, alat penilaian belajar, ruang belajar dan lingkungan. Sedangkan yang
dimaksud dengan aspek praktis dalam objek telaah PKn adalah perwujudan nyata
dari sarana programatik kependidikan yang kasat mata, yang pada hakekatnya
merupakan penerapan konsep, prinsip, prosedur, nilai, dalam pendidikan
kewarganegaraan sebagai dimensi “poietike” yang berinteraksi dengan keyakinan,
semangat, dan kemampuan para praktisi, serta konteks pendidikan kewarganegaraan,
yang diikat oleh substansi idiil sebagai dimensi “pronesis” yakni truth and
justice. Termasuk juga dalam aspek praktis ini adalah interaksi belajar di
kelas dan atau di luar kelas, dan pergaulan sosial-budaya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang memberi dampak edukatif
kewarganegaraan[4].
Pengembangan
ketiga aspek tersebut dalam pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan menghasilkan
peserta didik yang memiliki budi pekerti dan selalu berpikir kritis dalam
menanggapi isu kewarganegaraan serta selalu berpartisipasi aktif dan
bertanggung jawab serta bertindak secara cerdas dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara sehingga akan menciptakan karakter masyarakat
Indonesia yang baik dan aktif dalam kehidupan antar bangsa dan negara
Epistemologi Pendidikan Kewarganegaraan
Aspek
epistemologi pendidikan kewarganegaraan berkaitan erat dengan aspek ontologi
pendidikan kewarganegaraan, karena memang proses epistemologis, yang pada
dasarnya berwujud dalam berbagai bentuk kegiatan sistematis dalam upaya
membangun pengetahuan bidang kajian ilmiah pendidikan kewarganegaraan sudah
seharusnya terkait pada obyek telaah dan obyek pengembangannya. Kegiatan
epistemologis pendidikan kewarganegaraan mencakup metodologi penelitian dan
metodologi pengembangan. Metodologi penelitian digunakan untuk mendapatkan
pengetahuan baru melalui[5]:
1. metode
penelitian kuantitatif yang menonjolkan proses pengukuran dan generalisasi
untuk mendukung proses konseptualisasi.
2. metode
penelitian kualitatif yang menonjolkan pemahaman holistik terhadap fenomena
alamiah untuk membangun suatu teori.
Sedangkan,
metodologi pengembangan digunakan untuk mendapatkan paradigma pedagogis dan
rekayasa kurikuler yang relevan guna mengembangkan aspek-aspek sosial-psikologis
peserta didik, dengan cara mengorganisasikan berbagai unsur instrumental dan
kontekstual pendidikan[6].
Secara
historis-epistemologis Amerika Serikat (USA) dapat dicatat sebagai negara
perintis kegiatan akademis dan kurikuler dalam pengembangan konsep dan paradigma
“civics”. Pelajaran civics mulai di
perkenalkan pada tahun 1970 dalam rangka meng-amerika-kan bangsa Amerika
(nation building), sebab bangsa amerika terdiri dari berbagai macam suku,
bangsa, ras, maupun etnik. Usaha ini dinamakan dengan “theory of americanzation”. Kemudian pada tahun 1880-an mulai
diperkenalkan pelajaran civics disekolah yang berisikan materi tentang
pemerintahan. Seorang ahli bernama
Chresore (1886), pada waktu itu mengartikan “civics” sebagai “the science of citizenship” atau ilmu
kewarganegaraan, yang isinya mempelajari hubungan antar individu dan antar
individu dengan negara. Selanjutnya pada tahun 1900-an berkembang mata
pelajaran civics yang diisi dengan materi mengenai stuktur pemerintahan negara
bagian dan federasi[7].
Winataputra
mengatakan bahwa selain istilah “civics”,
pada tahun 1900-an mulai diperkenalkan istilah “citizenship education” dan ”civic
education”. Istilah-istilah “civics”
dan “civic education”, lebih
cenderung digunakan dalam makna yang serupa untuk mata pelajaran di sekolah yang
merupakan suatu lembaga pendidikan formal yang memiliki tujuan utama untuk mengembangkan
siswa sebagai warga negara yang cerdas dan baik. Sedangkan istilah “Citizenship
education” lebih cenderung digunakan dalam visi yang lebih luas secara
informal dan nonformal mulai dari lingkungan keluarga, organisasi sosial
kemasyarakatan sampai pada lingkungan tempat bekerja, dimana untuk
menunjukkan “instruktusional effects”
dan “nurturant effects” dari keseluruhan
proses pendidikan terhadap pembentukan karakter individu sebagai warganegara
yang cerdas dan baik, yang dimaksud untuk membantu perserta didik menjadi warga
negara yang aktif, berwawasan luas dan bertanggung jawab[8].
Dilihat visi lain perkembangan citizenship education dan civic education, dalam kenyataannya
secara historis-epistemologis tidak bisa dipisahkan dari perkembangan
pemikiran tentang social studies/social
studies education, seperti dapat dilihat di USA. Mengenai saling
keterkaitan antara citizenship education dan
civic education dan social studie, pada dasarnya ada
dua pandangan utama. Pandangan pertama melihat citizenship education dan civic
education sebagai bagian dari social
studies, dan pandangan kedua melihat citizenship
education dan civic education sebagai
esensi atau inti dari social studies.
Sementara itu secara epistemologis, sesungguhnya “Social studies” juga memiliki hubungan erat dengan “social sciences”, karena itu kedudukannya
dan keterkaitannya juga harus dipahami dengan jelas[9].
Mencermati penjelasan diatas, maka
consep civics tidak pernah lepas dari
civic education dan citizenship education, begitu pula
perkembangannya di Indonesia, civics dan civics education telah muncul pada
tahun 1957, dengan istilah Kewarganegaraan, lalu pada tahun 1962 pelajran
civics masuk dalam kurikulum sekolah, dengan bukunya “manusia baru indonesia”
yang dikarang oleh Mr. Doepardo, dengan tujuan untuk membentuk warga negara
yang baik. pada tahun 1968 keluarlah kurikulum pendidikan tahun 1968 yang baru,
maka istilah mata pelajaran civic-kewarganegaraan diganti lagi menjadi pendidikan
kewarganegaraan (PKN), pada masa ini metodenya sudah tidak indoktrinasi lagi. Namun
pada tahun 1975 melalui GBHN yang mengatakan bahwa “pendidikan pancasila masuk
kedalam pendidikan moral pancasila dimasukan dalam kurikulum tingkat sekolah
sampai perguruan tinggi” maka nama pendidikan kewarganegaraan berubah menjadi
Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Pada tahun 1994, PMP berubah kembali menjadi
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) misi yang diembannya adalah
pendidikan nilai moral pancasila, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan hukum,
dan kemasyarakatan sebagai pendidikan politik. Hingga pada tahun 2003, semua
tingkat pendidikan menggunakan nama dan kurikulum yang baru dengan sebutan
Pendidikan Kewarganegaraan hingga sampai saat ini[10].
Sampai
saat ini secara garis besar mata pelajaran Kewarganegaraan memiliki 3 dimensi yaitu[11]:
- Dimensi Pengetahuan Kewarganegaraan (Civics Knowledge) yang mencakup bidang politik, hukum dan moral.
- Dimensi Keterampilan Kewarganegaraan (Civics Skills) meliputi keterampilan partisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
- Dimensi Nilai-nilai Kewarganegaraan (Civics Values) mencakup antara lain percaya diri, penguasaan atas nilai religius, norma dan moral luhur.
Berdasarkan
uraian di atas saya berpendapat bahwa dalam mata pelajaran Kewarganegaraan
seorang siswa bukan saja menerima pelajaran berupa pengetahuan, tetapi pada
diri siswa juga harus berkembang sikap, keterampilan dan nilai-nilai. Sesuai
dengan Depdiknas yang menyatakan bahwa tujuan PKn untuk setiap jenjang
pendidikan yaitu mengembangkan kecerdasan warga negara yang diwujudkan melalui
pemahaman, keterampilan sosial dan intelektuan, serta berprestasi dalam
memecahkan masalah di lingkungannya. Untuk mencapai tujuan Pendidikan
Kewarganegaraan tersebut, maka guru berupaya melalui kualitas pembelajaran yang
dikelolanya, upaya ini bisa dicapai jika siswa mau belajar. Dalam belajar
inilah guru berusaha mengarahkan dan membentuk sikap serta perilaku siswa
sebagai mana yang dikehendaki dalam pembelajaran PKn.
Aksiologi Pendidikan
Kewarganegaraan
Pendidikan
kewarganegaraan yang sekarang ada di indonesia memfokuskan pada pembentukan
warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya
untuk menjadi warga negara indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter
yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945[12].
Pendidikan
Kewarganegaraan tersebut di tumbuh kembangkan dalam tradisi Citizenship
Education yang tujuannya sesuai dengan tujuan nasional negara. Namun, secara
umum menurut Nu’man Somantri dalam pendapatnya diatas tujuan mengembangkan
pendidikan kewarganegaraan (PKn) adalah agar setiap warga negara menjadi warga
negara yang baik (to be good citizens), yakni warga yang memiliki kecerdasan
(Civic Intelligence) baik intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual;
memiliki rasa bangga dan tanggung jawab (Civic Responsibility); dan mampu
berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Civic
Participation) agar tumbuh rasa kebangsaan dan cinta tanah air[13].
Sedangkan
menurut pendapat A. Kosasih Djahiri (1994/1995:10) adapun tujuan pembelajaran
PKn adalah sebagai berikut[14] :
v Secara
umum tujuan PKn harus mendukung keberhasilan pencapaian Pendidikan Nasional
yaitu : Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia
seutuhnya, yaitu menusia beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
berbudi pekerti luhur memiliki pengetahuan dan keterampilan kesehatan jasmani
dan rohani kepribadian mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan.
v Secara
khusus PKn bertujuan untuk : membina moral yang diharapkan diwujudkan dalam
kehidupan sehari-hari yaitu prilaku yang memancarkan iman dan taqwa terhadap
Tuhan Yang Esa dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan agama,
prilaku yang bersifat kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku yang
mendukung persatuan bangsa dan masyarakat yang beraneka ragam kebudayaan dan
beraneka ragam kepentingan bersama di atas kepentingan perorangan dan golongan
sehingga perbedaan pemikiran pendapat kepentingan dapat diatasi melalui
musyawarah mufakat serta prilaku yang mendukung upaya untuk mewujudkan upaya untuk
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menurut
pendapat di atas, tujuan utama pendidikan kewarganegaraan yaitu untuk membentuk
masyarakat yang memiliki budi pekerti dan selalu berpikir kritis dalam
menanggapi isu kewarganegaraanserta selalu berpartisipasi aktif dan bertanggung
jawab serta bertindak secara cerdas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara sehingga akan menciptakan karakter masyarakat Indonesia yang baik
dan aktif dalam kehidupan antar bangsa dan negara.
Dari
tujuan-tujuan yang dimilikinta tersebut sudah jelaslah bahwa pendidikan
kewarganegaraan memiliki manfaat yang sangat fital bagi bangsa dan negara, dan
sudah barang tentu pendidikan kewarganegaraan ada di setiap jenjang pendidikan
yang ada di indonesia karena bisa membuahkan generasi-generasi penerus yang diharapkan akan mampu
mengantisipasi hari depan yang senantiasa berubah dan selalu terkait dengan konteks
dinamika budaya, bangsa dan negara, serta memiliki wawasan kesadaran bernegara
untuk bela negara berlandaskan pemahaman politik kebangsaan, dan kepekaan
mengembangkan jati diri dan moral bangsa dalam perikehidupan bangsa dan
bernegara. Semua itu diperlakukan demi tetap utuh dan tegaknya Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
[1] Kalidjernih,FK.
Puspa Ragam Konsep dan Isu Kewarganegaraan. Bandung: Widya Aksara Press, 2009. Hal.54.
[3]Winataputra. Jatidiri
Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Wahana Sistemik Pendidikan Demokrasi. Bandung: Progam Pascasarjana UPI,2006
[4] Winataputra.loc.cit.
[7] Yuyus Kardiman
dan Yasnita Yasin. Ilmu Kewarganegaraan,
Jakarta: Laboraturium Sosial Politik Press, 2010. Hal 17.
[8] Yuyus Kardiman
dan Yasnita Yasin. loc.cit.
[9] Yuyus Kardiman
dan Yasnita Yasin. Ibid. Hal 17.
[10] Yuyus Kardiman
dan Yasnita Yasin. loc.cit
[11] Somardi. Ibid. Hal.58.
[12] Srijanti. Ibid. Hal.35.
[13] Srijanti. loc.cit.
[14] Somardi. Ibid. Hal.63.