1.
Banyaknya penganguran
Pengangguran
merupakan masalah pokok dalam suatu masyarakat modern. Jika tingkat
pengangguran tinggi, sumber daya menjadi terbuang percuma dan tingkat
pendapatan masyarakat akan merosot. Situasi ini menimbulkan kelesuan ekonomi
yang berpengaruh pula pada emosi masyarakat dan kehidupan keluarga sehari-hari.
Saat ini angka penganguran di indonesia masih cukup tinggi, Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi mencatat saat ini masih ada 7,24 juta orang di
Indonesia yang menganggur. Meski begitu, angka ini lebih kecil dibanding angka
pengangguran pada 2011 lalu, tingkat
pengangguran di Indonesia per Agustus 2012 menurun menjadi 6,14 persen
dibanding Agustus 2011 sebesar 6,56 persen.
Namun,
penurunan angka ini masih terkendala dengan tidak terserapnya angkatan kerja terdidik.
Menurut Asisten Deputi Bidang Kepeloporan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olah
Raga, Muh Abud Musa'ad, mengatakan angka pengangguran pemuda terdidik mencapai
41,81 persen dari total angka pengangguran nasional. Jumlah pengangguran
terdidik terbanyak adalah lulusan perguruan tinggi, yaitu 12,78 persen. Posisi
berikutnya disusul lulusan SMA (11,9 persen), SMK (11,87 persen), SMP (7,45
persen) dan SD (3,81 persen). Angka pengangguran pemuda Indonesia pun termasuk
yang tertinggi bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Pemuda yang
menganggur di Indonesia mencapai 25,1 persen dari total angkatan kerja.
Fenomena
ini di dasari oleh kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang dihasilkan oleh
lembaga-lembaga pendidikan seperti perguruan tinggi atau sekolah-sekolah belum
memadai, atau belum mencapai standar yang ditetapkan. SDM yang tidak memadai
ini bisa disebabkan sistem pendidikan kita yang tidak sesuai dengan yang
dibutuhkan industri, dan juga anggaran yang disediakan pemerintah untuk sektor
pendidikan yang masih rendah sehingga yang dihasilkanpun tidak mencapai ‘buah’
yang maksimal.
Sekarang
bukan saatnya lagi Indonesia membangun perekonomian dengan kekuatan
asing. Tapi sudah seharusnya bangsa Indonesia secara benar dan tepat memanfaatkan
potensi sumberdaya daya yang dimiliki dengan kemampuan SDM yang tinggi sebagai
kekuatan dalam membangun perekonomian nasional. Orang tidak bekerja alias
pengangguran merupakan masalah bangsa yang tidak pernah selesai. Ada tiga
hambatan yang menjadi alasan kenapa orang tidak bekerja, yaitu hambatan
kultural, kurikulum sekolah, dan pasar kerja. Hambatan kultural yang dimaksud adalah
menyangkut budaya dan etos kerja. Sementara yang menjadi masalah dari kurikulum
sekolah adalah belum adanya standar baku kurikulum pengajaran di sekolah yang
mampu menciptakan dan mengembangkan kemandirian SDM yang sesuai dengan
kebutuhan dunia kerja. Sedangkan hambatan pasar kerja lebih disebabkan oleh
rendahnya kualitas SDM yang ada untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja.
Yang
sangat perlu diperhatikan dalam kaitan dengan pengangguran anak muda, dan
terdidik adalah menyiapkan nilai stok keterampilan mereka. Perlu kita akui
bahwa kelemahan dari sistem pendidikan kita saat ini adalah sulitnya memberikan
pendidikan yang benar-benar dapat memupuk ketrampilan seseorang dalam berkarier
atau bekerja. Saat ini pendidikan kita terlalu menekankan pada segi teori dan
bukannya praktek. pada masa yang akan datang sistem ini harus diubah dengan
sistem pendidikan yang menekankan pada proses peningkatan psikomotorik serta
keterampilan-keterampilan kerja yang mesti dikuasai oleh peserta didik, dan hal
itu hanya bisa dilakukan dengan memeperbanyak praktek ketimbang teori.
Selain
itu pendidikan kita juga harus mengubah cara pandang yang tadinya selalu
berorintasi , pada penciptaan tenaga kerja, saat ini harus lebih diarahkan pada
penciptaan lapangan kerja atau kewirausahawan. Sistem pendidikan kita harus
didorong untuk tidak lagi menghasilkan lulusan-lulusan pencari kerja, tetapi
diarahkan untuk dapat menjadi penciptakan lulusan-lulusan pembuat lapangan
kerja. Caranya bisa dengan merubah kurikulum pendidikannya yang lebih berorientasi
kepada kebutuhan pasar kerja dan bisa juga dengan membebankan mahasiswa atau
pelajar sebelum menyelesaikan pendidikannya dengan kewajiban membuat suatu
usaha atau kegiatan yang bernilai materi. Hal tersebut tentunya akan melatih
pelajar dan mahasiswa untuk berpikir kritis membantu pemerintah menciptakan
lapangan pekerjaan.
2.
Tingginya angka putus sekolah
Salah
satu faktor yang dapat menjadi tolak ukur rendahnya tingkat pendidikan adalah
tingginya angka putus sekolah anak usia produktif (usia sekolah). Data Tahun 2007 dari Badan Penelitian dan
Pengembangan (Balitbang) Departemen Pendidikan Nasional menunjukkan jumlah anak
putus sekolah di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2006 angka
putus sekolah jumlahnya 899.786 anak. Setahun kemudian pada tahun 2007
bertambah sekitar 20 % menjadi 899.986 anak, dari jumlah penduduk kelompok
sekolah yang bersekolah sebesar 55,318,077 anak.
Dari
jumlah total penduduk sekolah yang bersekolah tersebut terdapat anak putus
sekolah di SD/MI sebanyak 640,445 anak dan
anak putus sekolah di SMP/MTs sebanyak 259,341 anak. Jadi dengan kata
lain dari 100 persen anak-anak yang masuk SD, yang
melanjutkan sekolah hingga lulus hanya 80 persen, sedangkan 20 persen lainnya
putus sekolah. Dari 80 persen yang lulus
SD, hanya sekitar 61 persen yang melanjutkan ke SMP maupun sekolah setingkat
lainnya, kemudian dari jumlah tersebut yang sekolah hingga lulus hanya sekitar
48 persen. Sementara itu, dari 48 persen tersebut, yang melanjutkan ke SMA
tinggal 21 persen dan berhasil lulus hanya sekitar 10 persen, sedangkan yang
melanjutkan ke perguruan tinggi hanya sekitar 1,4 persen.
Ada
beberapa faktor yang menyebabkan sangat tingginya angka putus sekolah di
indonesia, yaitu lemahnya ekonomi orang tua dan lingkungan sekolah yang tidak
memungkinkan para siswa untuk belajar karena minimnya rendahnya
fasilitas-fasilitas pendukung.
Lemahnya keadaan ekonomi orang adalah salah satu penyebab
terjadinya anak putus sekolah. Apabila keadaan ekonomi
orang tua kurang mampu, maka kebutuhan anak dalam bidang pendidikan tidak dapat
terpenuhi dengan baik. Sebaliknya kebutuhan yang cukup bagi anak hanyalah
didasarkan kepada kemampuan ekonomi dari orang tuanya, yang dapat terpenuhinya
segala keperluan kepentingan anak terutama dalam bidang pendidikan. Kita tidak
bisa menutup mata terhadap mahalnya biaya menempuh jenjang pendidikan di negeri
ini terutama pendidikan tingkat atas seperti SMA atau Perguruan Tinggi. Biaya
pendidikan yang mahal pada jenjang pendidikan tinggi ini menyebabkan masyarakat
miskin tidak dapat mengaksesnya. Memang terdapat upaya yang dilakuakan oleh
pemerintah untuk mengatasi masalah ini, misalnya pemberian beasiswa untuk siswa
tidak mampu. Namun pada praktik di lapangan, program pendidikan tersebut belum
berjalan secara efektif. Semangat menyelenggarakannya belum sinkron dengan
sistem pendidikan yang sudah terstruktur demikian lama. Lemahnya
database dunia pendidikan kita menjadi salah satu faktor penyebabnya. Patut
diakui rendahnya pemahaman akan validitas dan reabilitas data berimbas pada
dunia pendidikan kita. Kebijakan pendidikan agar menyentuh semua lapisan
pendidikan menjadi pekerjaan tersendiri bagi pihak pemerintah. Pemerataan
kebijakan bagi pendidikan ini secara konseptual haruslah menyentuh seluruh
lapisan pendidikan baik menyangkut peserta didik maupun pihak–pihak
penyelenggara pendidikan.
Selain
masalah tingkat ekonomi yang rendah, lingkungan sekolah juga menyebabkan
tingginya angka putus sekolah. Lingkungan sekolah merupakan suatu situasi yang
sangat erat kaitannya dengan anak
putus sekolah. Di
mana sekolah itu merupakan suatu lembaga atau tempat anak memperoleh atau
menerima pendidikan dan pengetahuan kepada anak serta berusaha supaya anak
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam upaya untuk tercapainya
tujuan pendidikan faktor-faktor sarana dan prasarana sangat di butuhkan,
seperti fasilitas gedung, ruangan serta alat-alat sekolah lainnya. sarana adalah penunjang utama dalam hal pendidikan
bagi anak, tanpa sarana yang memadai, maka pendidikan anak akan terbengkalai.
Namun dalam
dunia pendidikan kita masalah pemerataan pendidikan ini menjadi faktor utama
terhambatnya tujuan-tujuan pendidikan, di daerah-daerah terpencil masih banyak
sekolah-sekolah yang kondisinya sangat memprihatinkan dan hal ini berdapak pada
motivasi belajar anak, anak menjadi tidak bersemangat dalam mengikuti proses
pembelajaran sehingga anak lebih memutuskan untuk berhenti bersekolah.
Selanjutnya di samping kekurangan masalah sarana dan
alat-alat sekolah tersebut di atas, juga masih ada masalah tenaga pengajar,
yaitu kurangnya tenaga guru.
Tenaga pendidik merupakan salah satu faktor terlaksananya pembelajaran, jika guru tidak ada, tentu saja sekolah tadi tidak
akan terjadi. Dan para murid yang akan bersekolah, terpaksa tidak bersekolah. Guru
sangat menentukan untuk terhindarinya anak-anak putus sekolah.
Untuk
mengatasi tingginya angka putus sekolah khususnya pada tingkat SMA atau
perguruan tinggi bisa dilakukan dengan berbagai kebijakan dari pemerintah,
misalnya Pemerintah tidak pelu menggratiskan semua anak yang masuk sekolah
dasar dan sekolah menengah karena tidak semua anak yang masuk sekolah dasar
atau menengah merupakan anak dari orang tua yang tidak mampu atau miskin. Yang
perlu dibantu itu hanyalah anak orang miskin, sedangkan anak-anak yang berasal
dari keluarga mampu dibiarkan untuk membayar biaya sekolah sendiri. Dengan
memfokuskan bantuan hanya kepada anak orang miskin untuk bersekolah pada level
pendidikan SD dan SMP beban anggaran pemerintah akan berkurang, sehingga
anggaran yang terhemat tersebut bisa dialokasikan untuk membantu anak-anak yang
kurang mampu dalam melanjutkan sekolah kejenjang SMA atau bahkan Perguruan
Tinggi.
Solusi
lain untuk mengatasi angka putus sekolah yang tinggi adala melakukan pemerataan
pendidikan. Pemerataan pendidikan tersebut bisa berbentuk menyediakan guru-guru
yang berkualitas untuk ditempatkan secara proporsional. Artinya pemerintah
harus menjamin pemerataan tenaga pendidik yang berkualitas di setiap daerah,
agar tidak terjadi ketimpangan tenaga pendidik. Dengan kata lain pemerintah
harus menghasilkan guru-guru yang berkualitas untuk menjamin terselenggaranya
proses pembelajaran yang baik di setiap daerah-daerah Indonesia. Dan yang
terakhir ialah pemberdayaan lembaga pendidikan, pemberdayaan lembaga pendidikan
ini dapat melalui pembangunan sarana fisik yang layak, seperti gedung,
laboratorium, dan perangkat keras lainnya. Jika setiap sekolah memiliki
fasilitas yang lengkap dan mendukung setiap pembelajaran maka otomatis siswa
juga akan lebih bersemangat dalam mengikuti proses pembelajaran dan hal ini
juga akan berdampak pada tingkat putus sekolah yang akan menurun.
3.
Gaji yang rendah
Menurut
Badan Pusat Statistik (BPS) pendapatan per kapita masyarakat indonesia pada
tahun 2012 ini mencapai US$ 3.005. hal ini sangat baik mengingat negara-negara
maju malah sedang mengalami krisis.
Namun peningkatan
pendapatan perkapita tersebut tidak menggambarkan kesejahteraan seluruh rakyat
indonesia, kesenjangan ekonomi yang tinggi membuat masih saja rakyat indonesia
yang hidup pas-pasan bahkan kekurangan. Hal tersebut tergambar dari kaum buruh,
the Indonesia Labor Institute mencatat, upah buruh Indonesia yang diterima
rata-rata secara nasional sekitar Rp1,1 juta setiap bulan, jauh di bawah upah
minimum di China (Rp2,1 juta), Thailand (Rp2,7 juta), Malaysia (Rp4,5 juta) dan
Singapura (Rp5 juta). Padahal menurut The Labor Institute Indonesia,
angka rata-rata tersebut sudah mengalami tingkat kenaikan Upah Minimum Provinsi
(UMP) sebesar 10,27 persen lebih tinggi dibanding rata-rata kenaikan UMP pada
tahun sebelumnya 8,69 persen.
Namun tetap saja dengan
upah Rp1,1 juta tersebut buruh indonesia tidak dapat memenuhi kebutuhan riil
sehari-hari, apalagi untuk bisa memiliki rumah atau menyekolahkan anaknya
hingga perguruan tinggi. Sehingga, sudah dipastikan buruh Indonesia dan
keluarganya tidak mempunyai harapan akan masa depan yang lebih baik. Kondisi yang
menimpa kaum buruh tersebut sebenarnya tidak jauh beda dengan mayoritas
rakyat/kaum lainnya selain buruh. Artinya, problem kesejahteraan ini lebih
bersifat problem sistemis dari pada hanya sebatas problem ekonomi, apalagi
problem buruh tidak cukup dengan penyelesaian antara buruh dan pengusaha
semata. Jika hendak menyelesaikan problem
kesejahteraan hidup, baik bagi kaum buruh maupun rakyat secara makro, tentunya
penyelesaiannya harus mampu mencakup penyelesaian yang bersifat kasuistis dan
sekaligus dibarengi oleh usaha penyelesaian bersifat sistemis-integralistis.
Bila penyelesaian yang dilakukan hanya bersifat kasuistis dan parsial, maka
problem mendasar seputar kesejahteraan hidup kaum buruh dan rakyat secara
menyeluruh tidak akan selesai.
Persoalan gaji yang
rendah ini sebenarnya di dasari oleh tingkat kualitas SDM indonesia yang masih
rendah, dengan rendahnya kualitas yang di milik menyebabkan orang mau saja
menerima pekerjaan walaupun harus di bayar dengan gaji yang rendah dan tidak
sepadan dengan tenaga yang di keluarkan. Sebenarnya bila
ditinjau dari segi jumlah penduduk yang besar, SDM Indonesia merupakan sumber
daya yang sangat potensil untuk dapat dimanfaatkan sebagai modal pembangunan nasional.
Akan tetapi karena sebagian besar SDM Indonesia memiliki kualitas yang rendah,
justru masalah ini malah menjadi beban pembangunan nasional. Oleh karena itu
upaya peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan merupakan jawaban yang paling
jitu untuk merubah keadaan SDM menjadi modal pembangunan.
Dalam sebuah penelitian, diuangkapkan bahwa produktivitas
manusia Indonesia begitu rendah.
Hal ini dikarenakan kurang percaya diri, kurang kompetitif, kurang kreatif dan
sulit berprakarsa sendiri (selfstarter, N Idrus CITD 1999). Tentunya,
hal itu disebabkan oleh sistem pendidikan yang top down, dan yang tidak
mengembangkan inovasi dan kreativitas. Kreatifitas
diperlukan untuk bisa bertahan hidup dan tidak rentan dalam menghadapi berbagai
kesulitan. Dengan kreatifitas, seseorang menjadi dinamis
dan bisa menemukan jalan keluar yang positif ketika menghadapi kesulitan atau
masalah. Tapi justru didalam pendidikan kita kreatifitas ini tidak dikembangkan
secara optimal. Tidak
heran di dalam masyarakat Indonesia dewasa ini muncul banyak kritikan baik
dari praktisi pendidikan maupun dari kalangan pengamat pendidikan mengenai
pendidikan nasional yang tidak mempunyai arah yang jelas.
Sistem pendidikan perlu dirubah total karena jika kita
terus bertahan disistem pendidikan lama seperti sekarang ini maka kita akan
terus terpuruk khususnya dibidang ekonomi. Karena sistem pendidikan diIndonesia
terus menerus melatih siswa dengan mematikan karakteristik dan bakat terpendam
siswa. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi tuntutan globalisasi seyogyanya
kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan sistem pendidikan perlu dirubah. Sistem
pendidikan kita perlu mengintegrasikan diri dengan dunia kerja, dengan
pengertian kualitas SDM seperti apa saja yang dibutuhkan oleh dunia kerja harus
dipenuhi oleh dunia pendidikan. Untuk
memenuhi kualitas yang dibutuhkan oleh dunia kerja tersebut siswa butuh praktek
lapangan bukan hanya duduk diam dan mendengarkan serta diberi test tulis yang
amat membosankan, tapi berilah soal dunia nyata agar pikiran bawah sadar dan kreativitasnya
dapat optimal serta terlatih. Dengan praktek-praktek tersebut kualitas siswa
akan semakin meningkat, dengan meningkatnya kualitas siswa tersebut maka juga
akan meningkatkan dasa saing dan nilai jual siswa jika ia bekerja. Dengan kata
lain jika siswa memiliki kualitas, siswa tidak mungkin lagi digaji dengan
rendah jika ia bekerja nanti.
4.
Lamanya penyelesaian studi
Indonesia termasuk negara yang paling lama dalam
penyelesaian studinya. jika dilihat dari Jumlah hari Sekolah Indonesia termasuk
negara yang menerapkan jumlah hari belajar efektif dalam setahun yang tertinggi
di dunia. Jumlah hari efektif pembelajaran di indonesia yaitu 220 hari dalam setahun. Jika
dibandingkan dengan Finlandia yang dalam indeks pembangunan pendidikannya
menempati urutan teratas sangat jauh perbandingannya, siswa-siswa Finlandia ke
sekolah hanya sebanyak 190 hari dalam satu tahun. Jumlah hari liburnya 30 hari
lebih banyak daripada di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri kita masih menganut
pandangan bahwa semakin sering ke sekolah anak makin pintar, Bahkan terkadang
para guru mesih memberikan tugas sekolah selama masa liburan sehingga sekolah
merupakan suatu hal yang tidak menyenangkan.sedangkan Finlandia malah
berpandangan semakin banyak hari libur anak makin pintar. Guru di finlandia pun
dalam menerapkan tugas dibatasi hanya boleh minyita waktu setengah jam dalam
sehari.
Selain
itu indonesia dalam sistem pendidikannya terlalu gemuk dengan mata
pelajaran-pelajaran yang sebenarnya sangat tidak relevan dengan perkembangan
jaman. Akibatnya semua mata pelajaran tersebut dalam proses pembelajaran hanya
dibahas sampai ketingkat dasarnya saja bukan keinti mata pelajaran tersebut.
Hal tersebut berdampak berdampak kepada lamanya penyelesaian studi di indonesia.
Yang menjadi masalah makin lama seseorang menyelesaikan studi, maka pengetahuannya
justru semakin tidak relevan dan tidak valid.
Dari
masalah diatas tersebut terlihat bagaimana tidak efisen dan efektifnya
pendidikan di indonesia. Solusi yang dapat diterapkan untuk mengatasi masalah
ini adalah mengurangi jumlah mata pelajarang yang ada dalam dunia pendidikan
indonesia. Pelajaran-pelajaran dapat di integrasikan dan di orientasikan sehingga
menjadi efektif dan efisisen dalam pembelajarannya. Hal ini sama seperti yang
diterapkan di Finlandia, dalam pendidikan negara tersebut terdapat 6 mata
pelajaran inti yang semuanya terbungkus dengan kata orientation. kenapa disebut
orientation, karena kurikulum di Finlandia memiliki konsep gagasan bahwa 6 mata
pelajaran ini bukan mengharuskan siswa belajar isi dari seluruh pelajaran ini
namun mengajak anak didik untuk mulai memperoleh kemampuan menjelajah dan
memahami fenomena-fenomena alam yang ada disekitar mereka. Maka jika anda
melihat ada tiga kata yang dipakai disini yaitu examine, understand, &
experience. jadi siswa melatih kemudian memahami dan mencoba. Dengan menerapkan
sistem ini pada hakikatnya siswa tidak belajar isi dari buku-buku tetapi
berinteraksi dengan ilmu-ilmu tersebut, jadi pengetahuan siswa akan semakin
dalam dan kuat.
Selain itu solusi yang selanjutnya dapat
diterapkan untuk mengatasi lamanya penyelesaian studi adalah menerapkan sistem
SKS pada sekolah. Alasan penerapan sistem SKS ini lebih didasari oleh keberagaman
serta kebutuhan peserta didik, kita tentu menyadari bahwa setiap individu pasti
berbeda, baik berbeda minat, bakat, dan kecepatan dalam belajar. Nah dengan
sistem SKS ini diharapkan kebutuhan dan keragaman peserta didik dapat teratasi.
Peserta didik yang memiliki tingkat intelektual
yang tinggi pun juga dimungkinkan untuk menyelesaikan program pendidikannya
lebih cepat dari periode belajar yang ditentukan dalam setiap satuan
pendidikan. Selain itu dengan sistem SKS ini peserta didik dapat
dikurangi beban jumlah mata pelajaran yang selama ini terlalu banyak. Sehingga
peserta didik dapat mencapai kompetensi mata pelajaran lebih luas dan mendalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar