Jumat, 31 Mei 2013

Indikator-Indikator Rendahnya Mutu Pendidikan Nasional

1.      Banyaknya penganguran
Pengangguran merupakan masalah pokok dalam suatu masyarakat modern. Jika tingkat pengangguran tinggi, sumber daya menjadi terbuang percuma dan tingkat pendapatan masyarakat akan merosot. Situasi ini menimbulkan kelesuan ekonomi yang berpengaruh pula pada emosi masyarakat dan kehidupan keluarga sehari-hari. Saat ini angka penganguran di indonesia masih cukup tinggi, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mencatat saat ini masih ada 7,24 juta orang di Indonesia yang menganggur. Meski begitu, angka ini lebih kecil dibanding angka pengangguran pada 2011 lalu,  tingkat pengangguran di Indonesia per Agustus 2012 menurun menjadi 6,14 persen dibanding Agustus 2011 sebesar 6,56 persen. 
Namun, penurunan angka ini masih terkendala dengan tidak terserapnya angkatan kerja terdidik. Menurut Asisten Deputi Bidang Kepeloporan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olah Raga, Muh Abud Musa'ad, mengatakan angka pengangguran pemuda terdidik mencapai 41,81 persen dari total angka pengangguran nasional. Jumlah pengangguran terdidik terbanyak adalah lulusan perguruan tinggi, yaitu 12,78 persen. Posisi berikutnya disusul lulusan SMA (11,9 persen), SMK (11,87 persen), SMP (7,45 persen) dan SD (3,81 persen). Angka pengangguran pemuda Indonesia pun termasuk yang tertinggi bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Pemuda yang menganggur di Indonesia mencapai 25,1 persen dari total angkatan kerja.
Fenomena ini di dasari oleh kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga pendidikan seperti perguruan tinggi atau sekolah-sekolah belum memadai, atau belum mencapai standar yang ditetapkan. SDM yang tidak memadai ini bisa disebabkan sistem pendidikan kita yang tidak sesuai dengan yang dibutuhkan industri, dan juga anggaran yang disediakan pemerintah untuk sektor pendidikan yang masih rendah sehingga yang dihasilkanpun tidak mencapai ‘buah’ yang maksimal.
Sekarang bukan saatnya lagi Indonesia membangun perekonomian dengan kekuatan asing. Tapi sudah seharusnya bangsa Indonesia secara benar dan tepat memanfaatkan potensi sumberdaya daya yang dimiliki dengan kemampuan SDM yang tinggi sebagai kekuatan dalam membangun perekonomian nasional. Orang tidak bekerja alias pengangguran merupakan masalah bangsa yang tidak pernah selesai. Ada tiga hambatan yang menjadi alasan kenapa orang tidak bekerja, yaitu hambatan kultural, kurikulum sekolah, dan pasar kerja. Hambatan kultural yang dimaksud adalah menyangkut budaya dan etos kerja. Sementara yang menjadi masalah dari kurikulum sekolah adalah belum adanya standar baku kurikulum pengajaran di sekolah yang mampu menciptakan dan mengembangkan kemandirian SDM yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Sedangkan hambatan pasar kerja lebih disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM yang ada untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja.
Yang sangat perlu diperhatikan dalam kaitan dengan pengangguran anak muda, dan terdidik adalah menyiapkan nilai stok keterampilan mereka. Perlu kita akui bahwa kelemahan dari sistem pendidikan kita saat ini adalah sulitnya memberikan pendidikan yang benar-benar dapat memupuk ketrampilan seseorang dalam berkarier atau bekerja. Saat ini pendidikan kita terlalu menekankan pada segi teori dan bukannya praktek. pada masa yang akan datang sistem ini harus diubah dengan sistem pendidikan yang menekankan pada proses peningkatan psikomotorik serta keterampilan-keterampilan kerja yang mesti dikuasai oleh peserta didik, dan hal itu hanya bisa dilakukan dengan memeperbanyak praktek ketimbang teori.
Selain itu pendidikan kita juga harus mengubah cara pandang yang tadinya selalu berorintasi , pada penciptaan tenaga kerja, saat ini harus lebih diarahkan pada penciptaan lapangan kerja atau kewirausahawan. Sistem pendidikan kita harus didorong untuk tidak lagi menghasilkan lulusan-lulusan pencari kerja, tetapi diarahkan untuk dapat menjadi penciptakan lulusan-lulusan pembuat lapangan kerja. Caranya bisa dengan merubah kurikulum pendidikannya yang lebih berorientasi kepada kebutuhan pasar kerja dan bisa juga dengan membebankan mahasiswa atau pelajar sebelum menyelesaikan pendidikannya dengan kewajiban membuat suatu usaha atau kegiatan yang bernilai materi. Hal tersebut tentunya akan melatih pelajar dan mahasiswa untuk berpikir kritis membantu pemerintah menciptakan lapangan pekerjaan.

2.      Tingginya angka putus sekolah
Salah satu faktor yang dapat menjadi tolak ukur rendahnya tingkat pendidikan adalah tingginya angka putus sekolah anak usia produktif (usia sekolah).  Data Tahun 2007 dari Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Departemen Pendidikan Nasional menunjukkan jumlah anak putus sekolah di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2006 angka putus sekolah jumlahnya 899.786 anak. Setahun kemudian pada tahun 2007 bertambah sekitar 20 % menjadi 899.986 anak, dari jumlah penduduk kelompok sekolah yang bersekolah sebesar 55,318,077 anak.
Dari jumlah total penduduk sekolah yang bersekolah tersebut terdapat anak putus sekolah di SD/MI sebanyak 640,445 anak dan  anak putus sekolah di SMP/MTs sebanyak 259,341 anak. Jadi dengan kata lain dari 100 persen anak-anak yang masuk SD, yang melanjutkan sekolah hingga lulus hanya 80 persen, sedangkan 20 persen lainnya putus sekolah.  Dari 80 persen yang lulus SD, hanya sekitar 61 persen yang melanjutkan ke SMP maupun sekolah setingkat lainnya, kemudian dari jumlah tersebut yang sekolah hingga lulus hanya sekitar 48 persen. Sementara itu, dari 48 persen tersebut, yang melanjutkan ke SMA tinggal 21 persen dan berhasil lulus hanya sekitar 10 persen, sedangkan yang melanjutkan ke perguruan tinggi hanya sekitar 1,4 persen.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan sangat tingginya angka putus sekolah di indonesia, yaitu lemahnya ekonomi orang tua dan lingkungan sekolah yang tidak memungkinkan para siswa untuk belajar karena minimnya rendahnya fasilitas-fasilitas pendukung.
Lemahnya keadaan ekonomi orang adalah salah satu penyebab terjadinya anak putus sekolah. Apabila keadaan ekonomi orang tua kurang mampu, maka kebutuhan anak dalam bidang pendidikan tidak dapat terpenuhi dengan baik. Sebaliknya kebutuhan yang cukup bagi anak hanyalah didasarkan kepada kemampuan ekonomi dari orang tuanya, yang dapat terpenuhinya segala keperluan kepentingan anak terutama dalam bidang pendidikan. Kita tidak bisa menutup mata terhadap mahalnya biaya menempuh jenjang pendidikan di negeri ini terutama pendidikan tingkat atas seperti SMA atau Perguruan Tinggi. Biaya pendidikan yang mahal pada jenjang pendidikan tinggi ini menyebabkan masyarakat miskin tidak dapat mengaksesnya. Memang terdapat upaya yang dilakuakan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah ini, misalnya pemberian beasiswa untuk siswa tidak mampu. Namun pada praktik di lapangan, program pendidikan tersebut belum berjalan secara efektif. Semangat menyelenggarakannya belum sinkron dengan sistem pendidikan yang sudah terstruktur demikian lama. Lemahnya database dunia pendidikan kita menjadi salah satu faktor penyebabnya. Patut diakui rendahnya pemahaman akan validitas dan reabilitas data berimbas pada dunia pendidikan kita. Kebijakan pendidikan agar menyentuh semua lapisan pendidikan menjadi pekerjaan tersendiri bagi pihak pemerintah. Pemerataan kebijakan bagi pendidikan ini secara konseptual haruslah menyentuh seluruh lapisan pendidikan baik menyangkut peserta didik maupun pihak–pihak penyelenggara pendidikan. 
Selain masalah tingkat ekonomi yang rendah, lingkungan sekolah juga menyebabkan tingginya angka putus sekolah. Lingkungan sekolah merupakan suatu situasi yang sangat erat kaitannya dengan anak putus sekolah. Di mana sekolah itu merupakan suatu lembaga atau tempat anak memperoleh atau menerima pendidikan dan pengetahuan kepada anak serta berusaha supaya anak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam upaya untuk tercapainya tujuan pendidikan faktor-faktor sarana dan prasarana sangat di butuhkan, seperti fasilitas gedung, ruangan serta alat-alat sekolah lainnya. sarana adalah penunjang utama dalam hal pendidikan bagi anak, tanpa sarana yang memadai, maka pendidikan anak akan terbengkalai. Namun dalam dunia pendidikan kita masalah pemerataan pendidikan ini menjadi faktor utama terhambatnya tujuan-tujuan pendidikan, di daerah-daerah terpencil masih banyak sekolah-sekolah yang kondisinya sangat memprihatinkan dan hal ini berdapak pada motivasi belajar anak, anak menjadi tidak bersemangat dalam mengikuti proses pembelajaran sehingga anak lebih memutuskan untuk berhenti bersekolah.
Selanjutnya di samping kekurangan masalah sarana dan alat-alat sekolah tersebut di atas, juga masih ada masalah tenaga pengajar, yaitu kurangnya tenaga guru. Tenaga pendidik merupakan salah satu faktor terlaksananya pembelajaran, jika guru tidak ada, tentu saja sekolah tadi tidak akan terjadi. Dan para murid yang akan bersekolah, terpaksa tidak bersekolah. Guru sangat menentukan untuk terhindarinya anak-anak putus sekolah.
Untuk mengatasi tingginya angka putus sekolah khususnya pada tingkat SMA atau perguruan tinggi bisa dilakukan dengan berbagai kebijakan dari pemerintah, misalnya Pemerintah tidak pelu menggratiskan semua anak yang masuk sekolah dasar dan sekolah menengah karena tidak semua anak yang masuk sekolah dasar atau menengah merupakan anak dari orang tua yang tidak mampu atau miskin. Yang perlu dibantu itu hanyalah anak orang miskin, sedangkan anak-anak yang berasal dari keluarga mampu dibiarkan untuk membayar biaya sekolah sendiri. Dengan memfokuskan bantuan hanya kepada anak orang miskin untuk bersekolah pada level pendidikan SD dan SMP beban anggaran pemerintah akan berkurang, sehingga anggaran yang terhemat tersebut bisa dialokasikan untuk membantu anak-anak yang kurang mampu dalam melanjutkan sekolah kejenjang SMA atau bahkan Perguruan Tinggi.
Solusi lain untuk mengatasi angka putus sekolah yang tinggi adala melakukan pemerataan pendidikan. Pemerataan pendidikan tersebut bisa berbentuk menyediakan guru-guru yang berkualitas untuk ditempatkan secara proporsional. Artinya pemerintah harus menjamin pemerataan tenaga pendidik yang berkualitas di setiap daerah, agar tidak terjadi ketimpangan tenaga pendidik. Dengan kata lain pemerintah harus menghasilkan guru-guru yang berkualitas untuk menjamin terselenggaranya proses pembelajaran yang baik di setiap daerah-daerah Indonesia. Dan yang terakhir ialah pemberdayaan lembaga pendidikan, pemberdayaan lembaga pendidikan ini dapat melalui pembangunan sarana fisik yang layak, seperti gedung, laboratorium, dan perangkat keras lainnya. Jika setiap sekolah memiliki fasilitas yang lengkap dan mendukung setiap pembelajaran maka otomatis siswa juga akan lebih bersemangat dalam mengikuti proses pembelajaran dan hal ini juga akan berdampak pada tingkat putus sekolah yang akan menurun.
3.      Gaji yang rendah
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pendapatan per kapita masyarakat indonesia pada tahun 2012 ini mencapai US$ 3.005. hal ini sangat baik mengingat negara-negara maju malah sedang mengalami krisis.
Namun peningkatan pendapatan perkapita tersebut tidak menggambarkan kesejahteraan seluruh rakyat indonesia, kesenjangan ekonomi yang tinggi membuat masih saja rakyat indonesia yang hidup pas-pasan bahkan kekurangan. Hal tersebut tergambar dari kaum buruh, the Indonesia Labor Institute mencatat, upah buruh Indonesia yang diterima rata-rata secara nasional sekitar Rp1,1 juta setiap bulan, jauh di bawah upah minimum di China (Rp2,1 juta), Thailand (Rp2,7 juta), Malaysia (Rp4,5 juta) dan Singapura (Rp5 juta). Padahal menurut The Labor Institute Indonesia,  angka rata-rata tersebut sudah mengalami tingkat kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 10,27 persen lebih tinggi dibanding rata-rata kenaikan UMP pada tahun sebelumnya  8,69 persen.
Namun tetap saja dengan upah Rp1,1 juta tersebut buruh indonesia tidak dapat memenuhi kebutuhan riil sehari-hari, apalagi untuk bisa memiliki rumah atau menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Sehingga, sudah dipastikan buruh Indonesia dan keluarganya tidak mempunyai harapan akan masa depan yang lebih baik. Kondisi yang menimpa kaum buruh tersebut sebenarnya tidak jauh beda dengan mayoritas rakyat/kaum lainnya selain buruh. Artinya, problem kesejahteraan ini lebih bersifat problem sistemis dari pada hanya sebatas problem ekonomi, apalagi problem buruh tidak cukup dengan penyelesaian antara buruh dan pengusaha semata. Jika hendak menyelesaikan problem kesejahteraan hidup, baik bagi kaum buruh maupun rakyat secara makro, tentunya penyelesaiannya harus mampu mencakup penyelesaian yang bersifat kasuistis dan sekaligus dibarengi oleh usaha penyelesaian bersifat sistemis-integralistis. Bila penyelesaian yang dilakukan hanya bersifat kasuistis dan parsial, maka problem mendasar seputar kesejahteraan hidup kaum buruh dan rakyat secara menyeluruh tidak akan selesai.
Persoalan gaji yang rendah ini sebenarnya di dasari oleh tingkat kualitas SDM indonesia yang masih rendah, dengan rendahnya kualitas yang di milik menyebabkan orang mau saja menerima pekerjaan walaupun harus di bayar dengan gaji yang rendah dan tidak sepadan dengan tenaga yang di keluarkan. Sebenarnya bila ditinjau dari segi jumlah penduduk yang besar, SDM Indonesia merupakan sumber daya yang sangat potensil untuk dapat dimanfaatkan sebagai modal pembangunan nasional. Akan tetapi karena sebagian besar SDM Indonesia memiliki kualitas yang rendah, justru masalah ini malah menjadi beban pembangunan nasional. Oleh karena itu upaya peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan merupakan jawaban yang paling jitu untuk merubah keadaan SDM menjadi modal pembangunan.
Dalam sebuah penelitian, diuangkapkan bahwa produktivitas manusia Indonesia begitu rendah. Hal ini dikarenakan kurang percaya diri, kurang kompetitif, kurang kreatif dan sulit berprakarsa sendiri (selfstarter, N Idrus CITD 1999). Tentunya, hal itu disebabkan oleh sistem pendidikan yang top down, dan yang tidak mengembangkan inovasi dan kreativitas. Kreatifitas diperlukan untuk bisa bertahan hidup dan tidak rentan dalam menghadapi berbagai kesulitan. Dengan kreatifitas, seseorang menjadi dinamis dan bisa menemukan jalan keluar yang positif ketika menghadapi kesulitan atau masalah. Tapi justru didalam pendidikan kita kreatifitas ini tidak dikembangkan secara optimal. Tidak heran di dalam masyarakat Indonesia dewasa ini muncul banyak kritikan baik dari praktisi pendidikan maupun dari kalangan pengamat pendidikan mengenai pendidikan nasional yang tidak mempunyai arah yang jelas.
Sistem pendidikan perlu dirubah total karena jika kita terus bertahan disistem pendidikan lama seperti sekarang ini maka kita akan terus terpuruk khususnya dibidang ekonomi. Karena sistem pendidikan diIndonesia terus menerus melatih siswa dengan mematikan karakteristik dan bakat terpendam siswa. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi tuntutan globalisasi seyogyanya kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan sistem pendidikan perlu dirubah. Sistem pendidikan kita perlu mengintegrasikan diri dengan dunia kerja, dengan pengertian kualitas SDM seperti apa saja yang dibutuhkan oleh dunia kerja harus dipenuhi oleh dunia pendidikan.  Untuk memenuhi kualitas yang dibutuhkan oleh dunia kerja tersebut siswa butuh praktek lapangan bukan hanya duduk diam dan mendengarkan serta diberi test tulis yang amat membosankan, tapi berilah soal dunia nyata agar pikiran bawah sadar dan kreativitasnya dapat optimal serta terlatih. Dengan praktek-praktek tersebut kualitas siswa akan semakin meningkat, dengan meningkatnya kualitas siswa tersebut maka juga akan meningkatkan dasa saing dan nilai jual siswa jika ia bekerja. Dengan kata lain jika siswa memiliki kualitas, siswa tidak mungkin lagi digaji dengan rendah jika ia bekerja nanti.
4.      Lamanya penyelesaian studi
Indonesia termasuk negara yang paling lama dalam penyelesaian studinya. jika dilihat dari Jumlah hari Sekolah Indonesia termasuk negara yang menerapkan jumlah hari belajar efektif dalam setahun yang tertinggi di dunia. Jumlah hari efektif pembelajaran di indonesia  yaitu 220 hari dalam setahun. Jika dibandingkan dengan Finlandia yang dalam indeks pembangunan pendidikannya menempati urutan teratas sangat jauh perbandingannya, siswa-siswa Finlandia ke sekolah hanya sebanyak 190 hari dalam satu tahun. Jumlah hari liburnya 30 hari lebih banyak daripada di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri kita masih menganut pandangan bahwa semakin sering ke sekolah anak makin pintar, Bahkan terkadang para guru mesih memberikan tugas sekolah selama masa liburan sehingga sekolah merupakan suatu hal yang tidak menyenangkan.sedangkan Finlandia malah berpandangan semakin banyak hari libur anak makin pintar. Guru di finlandia pun dalam menerapkan tugas dibatasi hanya boleh minyita waktu setengah jam dalam sehari.
Selain itu indonesia dalam sistem pendidikannya terlalu gemuk dengan mata pelajaran-pelajaran yang sebenarnya sangat tidak relevan dengan perkembangan jaman. Akibatnya semua mata pelajaran tersebut dalam proses pembelajaran hanya dibahas sampai ketingkat dasarnya saja bukan keinti mata pelajaran tersebut. Hal tersebut berdampak berdampak kepada lamanya penyelesaian studi di indonesia. Yang menjadi masalah makin lama seseorang menyelesaikan studi, maka pengetahuannya justru semakin tidak relevan dan tidak valid.
Dari masalah diatas tersebut terlihat bagaimana tidak efisen dan efektifnya pendidikan di indonesia. Solusi yang dapat diterapkan untuk mengatasi masalah ini adalah mengurangi jumlah mata pelajarang yang ada dalam dunia pendidikan indonesia. Pelajaran-pelajaran dapat di integrasikan dan di orientasikan sehingga menjadi efektif dan efisisen dalam pembelajarannya. Hal ini sama seperti yang diterapkan di Finlandia, dalam pendidikan negara tersebut terdapat 6 mata pelajaran inti yang semuanya terbungkus dengan kata orientation. kenapa disebut orientation, karena kurikulum di Finlandia memiliki konsep gagasan bahwa 6 mata pelajaran ini bukan mengharuskan siswa belajar isi dari seluruh pelajaran ini namun mengajak anak didik untuk mulai memperoleh kemampuan menjelajah dan memahami fenomena-fenomena alam yang ada disekitar mereka. Maka jika anda melihat ada tiga kata yang dipakai disini yaitu examine, understand, & experience. jadi siswa melatih kemudian memahami dan mencoba. Dengan menerapkan sistem ini pada hakikatnya siswa tidak belajar isi dari buku-buku tetapi berinteraksi dengan ilmu-ilmu tersebut, jadi pengetahuan siswa akan semakin dalam dan kuat.

Selain itu solusi yang selanjutnya dapat diterapkan untuk mengatasi lamanya penyelesaian studi adalah menerapkan sistem SKS pada sekolah. Alasan penerapan sistem SKS ini lebih didasari oleh keberagaman serta kebutuhan peserta didik, kita tentu menyadari bahwa setiap individu pasti berbeda, baik berbeda minat, bakat, dan kecepatan dalam belajar. Nah dengan sistem SKS ini diharapkan kebutuhan dan keragaman peserta didik dapat teratasi. Peserta didik yang memiliki tingkat intelektual yang tinggi pun juga dimungkinkan untuk menyelesaikan program pendidikannya lebih cepat dari periode belajar yang ditentukan dalam setiap satuan pendidikan. Selain itu dengan sistem SKS ini peserta didik dapat dikurangi beban jumlah mata pelajaran yang selama ini terlalu banyak. Sehingga peserta didik dapat mencapai kompetensi mata pelajaran lebih luas dan mendalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar