Jumat, 31 Mei 2013

Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan (ontologi, epistemologi, aksiologi)

Ontologi Pendidikan Kewarganegaraan
PKn merupakan bidang studi yang bersifat multifaset dengan konteks lintas keilmuan. Namun secara filsafat keilmuan, ia memiliki Ontologi pokok ilmu politik khususnya konsep “political democracy” untuk aspek “duties and right citizens” (Chreshore:1886). Dari ontologi pokok inilah berkembang konsep “Civics”, yang secara harfiah diambil dari bahasa latin yaitu “civicus” yang artinya warga negara pada masa yunani kuno, yang kemudian diakui secara akademis sebagai embrionya “civic education”, yang selanjutnya di indonesia diadaptasi menjadi “pendidikan kewarganegaraan” (PKn). Saat ini tradisi itu sudah berkembang pesat menjadi suatu “Body of knowledge” yang dikenal memiliki paradigma sistemik, yang didalamnya terdapat tiga domain “Citizenship education”, yakni  domain akademis, domain kurikuler, dan domain sosial kultural[1].
Ketiga domain tersebut satua sama lain saling memiliki keterkaitan stuktural dan fungsional yang diikat oleh konsepsi “civic virtue and cultere” yang mencakup civic knowledge, civic disposition, civic skills, civic confidence, civic comitment dan civic competence. Oleh karena itu ontologi PKn saat ini sudah lebih luas dari pada embrionya sehingga kajian keilmuan PKn, program kurikuler PKn, dan aktivitas social-kultural PKn saat ini benar-benar multifaset atau multi dimensional. Sifat multidimensional inilah yang membuat bidang studi PKn dapat disikapi sebagai : pendidikan kewarganegaraan, pendidikan politik, pendidikan nilai dan moral, pendidikan kebangsaan pendidikan kemasyarakatan, pendidikan hukum dan hak azasi manusia, dan pendidikan demokrasi[2].
Menurut pendapat di atas, pendidikan kewaganegaraan merupakan bidang studi yang mencakup lintas bidang keilmuan karena dalam pendidikan kewarganegaraan terdapat pula pokok ilmu politik kemudian berkembang konsep civics yang berarti warga negara kemudian berkembang menjadi civics education yang selanjutnya diadaptasi menjadi pendidikan kewarganegaraan.  Namun PKn di Indonesia selain mendasarkan pada Ontologi pokok yaitu Ilmu Politik juga brangkat dari Pancasila dan Konsepsi kewarganegaraan lainnya, oleh karena itu di indonesia PKn sering juga disebut dengan PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan). Perkembangan PKn di Indonesia juga tidak boleh keluar dari landasan ideologis Pancasila, landasan konstitusional UUD 1945, dan landasan operasional Undang-Undang Sisdiknas yang berlaku saat ini, yakni UU Nomor 20 tahun 2003.
Pendapat lain mengatakan PKn Secara ontologikal memilki dua dimensi, yakni obyek telaah dan obyek pengembangan (Winataputra, 2001). Obyek telaah adalah keseluruhan aspek idiil, instrumental, dan praktis PKn yang secara internal dan eksternal mendukung sistem kurikulum dan pembelajaran PKn di sekolah dan di luar sekolah, serta format gerakan sosial-kultural kewarganegaraan masyarakat. Sedangkan obyek pengembangan atau sasaran pembentukan adalah keseluruhan ranah sosio-psikologis peserta didik yang oleh Bloom dkk, dikategorikan ke dalam ranah kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik, yang menyangkut status, hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang perlu dimuliakan dan dikembangkan secara programtik guna mencapai kualitas warga negara yang “cerdas, dan baik” dalam arti religius, demokratis dan berkeadaban dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara[3].
Yang dimaksud dengan aspek idiil dalam objek telaah PKn adalah landasan dan kerangka filosofis yang menjadi titik tolak dan sekaligus sebagai muaranya pendidikan kewarganegaraan diIndonesia. Yang termasuk dalam aspek idiil PKn adalah landasan dan tujuan pendidikan nasional, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945, UU No. 20 Thn 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Aspek instrumental dalam objek telaah PKn adalah sarana programatik pendidikan yang sengaja dibangun dan dikembangkan untuk menjabarkan substansi aspek-aspek idiil. Yang termasuk ke dalam aspek ini adalah; kurikulum, bahan belajar, guru, media dan sumber belajar, alat penilaian belajar, ruang belajar dan lingkungan. Sedangkan yang dimaksud dengan aspek praktis dalam objek telaah PKn adalah perwujudan nyata dari sarana programatik kependidikan yang kasat mata, yang pada hakekatnya merupakan penerapan konsep, prinsip, prosedur, nilai, dalam pendidikan kewarganegaraan sebagai dimensi “poietike” yang berinteraksi dengan keyakinan, semangat, dan kemampuan para praktisi, serta konteks pendidikan kewarganegaraan, yang diikat oleh substansi idiil sebagai dimensi “pronesis” yakni truth and justice. Termasuk juga dalam aspek praktis ini adalah interaksi belajar di kelas dan atau di luar kelas, dan pergaulan sosial-budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang memberi dampak edukatif kewarganegaraan[4].
Pengembangan ketiga aspek tersebut dalam pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan menghasilkan peserta didik yang memiliki budi pekerti dan selalu berpikir kritis dalam menanggapi isu kewarganegaraan serta selalu berpartisipasi aktif dan bertanggung jawab serta bertindak secara cerdas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga akan menciptakan karakter masyarakat Indonesia yang baik dan aktif dalam kehidupan antar bangsa dan negara
Epistemologi Pendidikan Kewarganegaraan             
Aspek epistemologi pendidikan kewarganegaraan berkaitan erat dengan aspek ontologi pendidikan kewarganegaraan, karena memang proses epistemologis, yang pada dasarnya berwujud dalam berbagai bentuk kegiatan sistematis dalam upaya membangun pengetahuan bidang kajian ilmiah pendidikan kewarganegaraan sudah seharusnya terkait pada obyek telaah dan obyek pengembangannya. Kegiatan epistemologis pendidikan kewarganegaraan mencakup metodologi penelitian dan metodologi pengembangan. Metodologi penelitian digunakan untuk mendapatkan pengetahuan baru melalui[5]:
1.      metode penelitian kuantitatif yang menonjolkan proses pengukuran dan generalisasi untuk mendukung proses konseptualisasi.
2.      metode penelitian kualitatif yang menonjolkan pemahaman holistik terhadap fenomena alamiah untuk membangun suatu teori.
Sedangkan, metodologi pengembangan digunakan untuk mendapatkan paradigma pedagogis dan rekayasa kurikuler yang relevan guna mengembangkan aspek-aspek sosial-psikologis peserta didik, dengan cara mengorganisasikan berbagai unsur instrumental dan kontekstual pendidikan[6].
Secara historis-epistemologis Amerika Serikat (USA) dapat dicatat sebagai negara perintis kegiatan akademis dan kurikuler dalam pengembangan konsep dan paradigma “civics”. Pelajaran civics mulai di perkenalkan pada tahun 1970 dalam rangka meng-amerika-kan bangsa Amerika (nation building), sebab bangsa amerika terdiri dari berbagai macam suku, bangsa, ras, maupun etnik. Usaha ini dinamakan dengan “theory of americanzation”. Kemudian pada tahun 1880-an mulai diperkenalkan pelajaran civics disekolah yang berisikan materi tentang pemerintahan. Seorang ahli bernama Chresore (1886), pada waktu itu mengartikan “civics” sebagai “the science of citizenship” atau ilmu kewarganegaraan, yang isinya mempelajari hubungan antar individu dan antar individu dengan negara. Selanjutnya pada tahun 1900-an berkembang mata pelajaran civics yang diisi dengan materi mengenai stuktur pemerintahan negara bagian dan federasi[7].
       Winataputra mengatakan bahwa selain istilah “civics”, pada tahun 1900-an mulai diperkenalkan istilah “citizenship education” dan ”civic education”. Istilah-istilah “civics” dan “civic education”, lebih cenderung digunakan dalam makna yang serupa untuk mata pelajaran di sekolah yang merupakan suatu lembaga pendidikan formal yang memiliki tujuan utama untuk mengembangkan siswa sebagai warga negara yang cerdas dan baik. Sedangkan  istilah “Citizenship education” lebih cenderung digunakan dalam visi yang lebih luas secara informal dan nonformal mulai dari lingkungan keluarga, organisasi sosial kemasyarakatan sampai pada lingkungan tempat bekerja, dimana untuk  menunjukkan “instruktusional effects” dan “nurturant effects” dari keseluruhan proses pendidikan terhadap pembentukan karakter individu sebagai warganegara yang cerdas dan baik, yang dimaksud untuk membantu perserta didik menjadi warga negara yang aktif, berwawasan luas dan bertanggung jawab[8].
Dilihat visi lain perkembangan citizenship education  dan  civic education, dalam kenyataannya secara historis-epistemologis tidak bisa dipisahkan dari perkembangan pemikiran tentang  social studies/social studies education, seperti dapat dilihat di USA. Mengenai saling keterkaitan antara citizenship education dan civic education  dan social studie, pada dasarnya ada dua pandangan utama. Pandangan pertama melihat citizenship education dan civic education sebagai bagian dari social studies, dan pandangan kedua melihat citizenship education dan civic education sebagai esensi atau inti dari social studies. Sementara itu secara epistemologis, sesungguhnya “Social studies” juga memiliki hubungan erat dengan “social sciences”, karena itu kedudukannya dan keterkaitannya juga harus dipahami dengan jelas[9].
Mencermati penjelasan diatas, maka consep civics tidak pernah lepas dari civic education dan citizenship education, begitu pula perkembangannya di Indonesia, civics dan civics education telah muncul pada tahun 1957, dengan istilah Kewarganegaraan, lalu pada tahun 1962 pelajran civics masuk dalam kurikulum sekolah, dengan bukunya “manusia baru indonesia” yang dikarang oleh Mr. Doepardo, dengan tujuan untuk membentuk warga negara yang baik. pada tahun 1968 keluarlah kurikulum pendidikan tahun 1968 yang baru, maka istilah mata pelajaran civic-kewarganegaraan diganti lagi menjadi pendidikan kewarganegaraan (PKN), pada masa ini metodenya sudah tidak indoktrinasi lagi. Namun pada tahun 1975 melalui GBHN yang mengatakan bahwa “pendidikan pancasila masuk kedalam pendidikan moral pancasila dimasukan dalam kurikulum tingkat sekolah sampai perguruan tinggi” maka nama pendidikan kewarganegaraan berubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Pada tahun 1994, PMP berubah kembali menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) misi yang diembannya adalah pendidikan nilai moral pancasila, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan hukum, dan kemasyarakatan sebagai pendidikan politik. Hingga pada tahun 2003, semua tingkat pendidikan menggunakan nama dan kurikulum yang baru dengan sebutan Pendidikan Kewarganegaraan hingga sampai saat ini[10].
Sampai saat ini secara garis besar mata pelajaran Kewarganegaraan memiliki 3 dimensi yaitu[11]:
  1. Dimensi Pengetahuan Kewarganegaraan (Civics Knowledge) yang mencakup bidang politik, hukum dan moral.
  2. Dimensi Keterampilan Kewarganegaraan (Civics Skills) meliputi keterampilan partisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
  3. Dimensi Nilai-nilai Kewarganegaraan (Civics Values) mencakup antara lain percaya diri, penguasaan atas nilai religius, norma dan moral luhur.

Berdasarkan uraian di atas saya berpendapat bahwa dalam mata pelajaran Kewarganegaraan seorang siswa bukan saja menerima pelajaran berupa pengetahuan, tetapi pada diri siswa juga harus berkembang sikap, keterampilan dan nilai-nilai. Sesuai dengan Depdiknas yang menyatakan bahwa tujuan PKn untuk setiap jenjang pendidikan yaitu mengembangkan kecerdasan warga negara yang diwujudkan melalui pemahaman, keterampilan sosial dan intelektuan, serta berprestasi dalam memecahkan masalah di lingkungannya. Untuk mencapai tujuan Pendidikan Kewarganegaraan tersebut, maka guru berupaya melalui kualitas pembelajaran yang dikelolanya, upaya ini bisa dicapai jika siswa mau belajar. Dalam belajar inilah guru berusaha mengarahkan dan membentuk sikap serta perilaku siswa sebagai mana yang dikehendaki dalam pembelajaran PKn.
Aksiologi Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan kewarganegaraan yang sekarang ada di indonesia memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945[12].
Pendidikan Kewarganegaraan tersebut di tumbuh kembangkan dalam tradisi Citizenship Education yang tujuannya sesuai dengan tujuan nasional negara. Namun, secara umum menurut Nu’man Somantri dalam pendapatnya diatas tujuan mengembangkan pendidikan kewarganegaraan (PKn) adalah agar setiap warga negara menjadi warga negara yang baik (to be good citizens), yakni warga yang memiliki kecerdasan (Civic Intelligence) baik intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual; memiliki rasa bangga dan tanggung jawab (Civic Responsibility); dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Civic Participation) agar tumbuh rasa kebangsaan dan cinta tanah air[13].
Sedangkan menurut pendapat A. Kosasih Djahiri (1994/1995:10) adapun tujuan pembelajaran PKn adalah sebagai berikut[14] :
v  Secara umum tujuan PKn harus mendukung keberhasilan pencapaian Pendidikan Nasional yaitu : Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu menusia beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur memiliki pengetahuan dan keterampilan kesehatan jasmani dan rohani kepribadian mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
v  Secara khusus PKn bertujuan untuk : membina moral yang diharapkan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari yaitu prilaku yang memancarkan iman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Esa dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan agama, prilaku yang bersifat kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku yang mendukung persatuan bangsa dan masyarakat yang beraneka ragam kebudayaan dan beraneka ragam kepentingan bersama di atas kepentingan perorangan dan golongan sehingga perbedaan pemikiran pendapat kepentingan dapat diatasi melalui musyawarah mufakat serta prilaku yang mendukung upaya untuk mewujudkan upaya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menurut pendapat di atas, tujuan utama pendidikan kewarganegaraan yaitu untuk membentuk masyarakat yang memiliki budi pekerti dan selalu berpikir kritis dalam menanggapi isu kewarganegaraanserta selalu berpartisipasi aktif dan bertanggung jawab serta bertindak secara cerdas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga akan menciptakan karakter masyarakat Indonesia yang baik dan aktif dalam kehidupan antar bangsa dan negara.
       Dari tujuan-tujuan yang dimilikinta tersebut sudah jelaslah bahwa pendidikan kewarganegaraan memiliki manfaat yang sangat fital bagi bangsa dan negara, dan sudah barang tentu pendidikan kewarganegaraan ada di setiap jenjang pendidikan yang ada di indonesia karena bisa membuahkan generasi-generasi  penerus yang diharapkan akan mampu mengantisipasi hari depan yang senantiasa berubah dan selalu terkait dengan konteks dinamika budaya, bangsa dan negara, serta memiliki wawasan kesadaran bernegara untuk bela negara berlandaskan pemahaman politik kebangsaan, dan kepekaan mengembangkan jati diri dan moral bangsa dalam perikehidupan bangsa dan bernegara. Semua itu diperlakukan demi tetap utuh dan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.



[1] Kalidjernih,FK. Puspa Ragam Konsep dan Isu Kewarganegaraan. Bandung: Widya Aksara Press, 2009. Hal.54.
[2] Kalidjernih,FK.ibid. Hal.55.
[3]Winataputra. Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Wahana Sistemik Pendidikan Demokrasi. Bandung: Progam Pascasarjana UPI,2006
[4] Winataputra.loc.cit.
[5] Kalidjernih,FK.loc.cit.
[6] Kalidjernih,FK.ibid. Hal.56.
[7] Yuyus Kardiman dan Yasnita Yasin. Ilmu Kewarganegaraan, Jakarta: Laboraturium Sosial Politik Press, 2010. Hal 17.
[8] Yuyus Kardiman dan Yasnita Yasin. loc.cit.
[9] Yuyus Kardiman dan Yasnita Yasin. Ibid. Hal 17.
[10] Yuyus Kardiman dan Yasnita Yasin. loc.cit
[11] Somardi. Ibid. Hal.58.
[12] Srijanti. Ibid. Hal.35.
[13] Srijanti. loc.cit.
[14] Somardi. Ibid. Hal.63.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar